Kolom Prof. In : Ibukota Provinsi Baru

Prof. In. di Acaca Kampus

Oleh : Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A.

Pada saat mendengarkan khutbah Jum’at di Balairung Kampus pada bulan Ramadhan yang lalu, khatib bercerita tentang semakin sedikitnya jama’ah shalat tarawih ketika mendekati akhir bulan suci, karena terserap ke pusat-pusat perbelanjaan, supermarket dan mall.

Saya sependapat dengan apa yang dikatakan khatib tersebut, karena saya pernah menyaksikan sendiri di beberapa masjid di sebuah ibukota provinsi. Jamaahnya masih relatif penuh meskipun menjelang akhir Ramadhan, karena di kota tersebut belum ada mall maupun supermarket. Mengherankan memang, di sebuah ibukota provinsi belum ada tempat belanja yang super besar.

Pengalaman tersebut berawal ketika di bulan suci dua tahun yang lalu, saya dan seorang teman dosen mendapat tugas untuk visitasi ke sebuah universitas di ibukota-provinsi, yaitu Kupang di pulau Timor dan Mamuju di Sulawesi. Membayangkan lokasi yang cukup jauh itu, kami jadi setengah hati untuk melaksanakannya. Namun karena kunjungan ini sangat diharapkan oleh mereka, maka akhirnya kami berangkat juga.

Kupang sebagai ibukota-provinsi, bagi kami sudah tidak asing lagi, karena sudah sering terdengar. Namun tidak demikian dengan ibukota-provinsi Mamuju, sehingga harus dilihat di peta. Ternyata kota yang menjadi tujuan kami itu merupakan sebuah ibukota provinsi baru, hasil pemekaran daerah yang terletak di pantai barat Sulawesi, yang bila ditempuh lewat darat dari Makassar bisa memerlukan waktu sampai 12 jam.

Setelah tugas di Kupang selesai, pada hari ketiga kami lanjutkan ke Mamuju. Ternyata perjalanan dari Makassar ke Mamuju tidak harus lewat darat yang memerlukan waktu setengah hari, seperti yang telah dialami oleh teman lain. Informasi yang sampai ke kami, sejak beberapa waktu yang lalu, pemerintah setempat telah memberi subsidi kepada salah satu perusahaan penerbangan agar bersedia membuka jalur ke kota ini.

Meskipun pesawat yang kami tumpangi bukan pesawat yang besar dengan mesin jet, namun terasa nyaman juga bila tidak sedang melewati gugusan awan. Penerbangan rintisan ini merupakan satu-satunya pesawat yang datang dan pergi ke ibukota ini setiap harinya. Sehingga masyarakat setempat, anak-anak bersama orangtuanya masih senang bergerombol di pinggir bandara menonton pesawat yang sedang landing dan take-off. 

Setibanya di kampus, kami disambut oleh pimpinan beserta jajarannya dengan tradisi setempat, pengalungan selendang sebagai penghormatan. Hari pertama kami menyelesaikan tugas di kampus sampai malam. Dalam perjalanan ke penginapan, kami melewati beberapa masjid yang ternyata jamaah shalat tarawihnya masih banyak. Padahal waktu itu sudah memasuki hari-hari terakhir bulan Ramadhan, yang biasanya kalau di tempat kami jamaahnya tinggal beberapa baris saja. Mereka lebih senang menyibukkan diri pergi ke mall dan supermarket dengan alasan untuk persiapan lebaran. Ternyata kebiasaan minimnya jamaah tarawih menjelang Idul Fitri kelihatannya tidak berlaku di sini. Sebuah kesan tersendiri buat kami.

Kami semakin terkesan ketika mengetahui bahwa hari libur Perguruan Tinggi yang kami kunjungi bukan Ahad, melainkan Jumat. Bahkan masih ada kesan lagi sesaat sebelum meninggalkan ibukota provinsi yang baru ini, yaitu ketika kami tiba di bandara dan akan check-in ternyata loketnya sedang tutup, para petugasnya sedang menjalankan shalat Jum’at, prosesnya ditunda sampai shalatnya selesai. Sebuah keberuntungan buat kami, bisa ikut shalat di masjid dekat bandara.

Saat merenung di pesawat kami bersyukur, ternyata tugas visitasi yang semula kami agak ragu melaksanakannya, justru memberikan berbagai kesan yang mendalam. Namun timbul juga kekhawatiran kami, apakah masyarakat di sana akan mampu bertahan dengan sifat kesederhaannya, tidak tercemari oleh kehidupan “modern yang tidak Islami” yang penuh dengan kesenangan semu, penuh dengan “gaya hidup konsumtif. Suasana ini akan dapat dipertahankan apabila para pengambil keputusan di provinsi baru ini tidak bisa dipengaruhi oleh keinginan “orang luar” yang mempunyai kapital besar, yang tidak pernah memikirkan dampak negatif dari apa yang mereka upayakan. Wallahu a’lam bish-shawab.


Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A.  Guru Besar Teknik Mesin Universitas Gajah Mada | Pimpinan Umum Majalah Fahma

Admin @emthorif

Sumber foto : http://www.asdu.ait.ac.th/Interimcodes/pssu2/FCKeditor/UserFiles/Image/240907/indo06.jpg
Powered by Blogger.
close