Harapan yang Patut Diharapkan
Oleh
: Imam Nawawi
Ketika
seorang anak belajar ke sekolah, orangtua selalu memotivasi anak-anaknya untuk
belajar dengan rajin, disiplin dan tak kenal lelah agar kelak bisa lulus dengan
nilai baik dan dapat pekerjaan yang bagus. Tentu nasehat ini tidak keliru.
Tetapi
fatal jika kemudian kesuksesan anak dalam hal pekerjaan dan harta menjadi
tumpuan harapan para orangtua tanpa peduli bagaimana kesholihan putra-putrinya.
Sementara dirinya sendiri abai dari melakukan amalan sholeh dalam setiap
harinya.
Berharap
kepada anak bukanlah hal yang salah, tetapi menjadikan anak sebagai tumpuan
harapan jelas sangat salah. Apalagi, jika semata-mata untuk kenyamanan
kehidupan di dunia belaka.
Sebab anak
pada hakikatnya hanya benar-benar bisa diharapkan manakala kesholihan melekat
pada perilakunya dan senantiasa memintakan ampun untuk kedua orangtuanya. Oleh
karena itu, yang patut diharapkan para orangtua dari anaknya hanyalah
kesholihan dirinya sendiri baru kesholihan putra-putrinya.
Tanpa
kesholehan diri sendiri, maka anak pun tak bisa diharapkan, apalagi sebatas
harta kekayaan, jabatan dan popularitas. Semua itu sama sekali tidak
berpengaruh apa-apa dalam kehidupan hakiki. Maka sangat keliru jika itu semua
yang diharapkan. Di dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala
telah memberikan contoh bagaimana anak Nabi Nuh tidak bisa diharapkan.
Satu-satunya
yang bisa diharapkan oleh setiap diri adalah amal sholih yang dilakukannya
dengan penuh kesungguhan. Di sinilah kita dapat melihat alasan yang gamblang
mengapa para Nabi bersusah payah dalam amal, jihad, dan dakwah. Karena hanya
amalan-amalan sholih lagi mulia saja yang benar-benar bisa dijadikan tumpuan
harapan yang paling nyata.
Mari kita
lihat bagaimana komitmen Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam dalam mengerjakan amalan-amalan sholih. Dalam setiap hari
beliau beristighfar tidak kurang dari 70 kali. Kemudian, setiap malam selalu
berupaya bangun tahajjud hingga bengkak kedua tapak kakinya. Tidak cukup di
situ, beliau tidak melewati hari kecuali telah bersedekah kepada umatnya.
Sebenarnya
itu sudah cukup untuk dijadikan petunjuk penting bagi umat Islam bahwa yang
harus diutamakan dalam keseharian hidup kita adalah melakukan banyak amal sholih.
Itulah mengapa dalam setiap detik perjalanan waktu, Allah sediakan banyak
sekali kesempatan beribadah dan beramal sholih, utamanya setiap usai sholat
lima waktu di mana kita disunnahkan untuk dzikir kepada-Nya.
Jadi,
kembali pada diri sendiri harapan kebahagiaan itu bisa benar-benar diharapkan.
Karena dalam ayat yang lain Allah Subhanahu Wata’ala menegaskan bahwa harta dan
anak-anak yang kita miliki hanyalah ujian belaka.
Karena
Anak Tetaplah Ingat Allah
“Dan
ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS. 8: 28).
Ibn Katsir
dalam tafsirnya menjelaskan fitnah di sini adalah apakah seorang Muslim akan
tetap istiqomah mengingat Allah atau justru akan semakin sibuk dengan harta dan
anak-anaknya dan lalai dari mengingat Allah. Ayat serupa juga bisa kita lihat
pada Surah Al-Taghabun : 15).
Maka dari
itu, Allah memberikan penjelasan bahwa hanya di sisi Allah semata pahala yang
besar. Maksudnya adalah, pahala Allah, pemberian-Nya dan surga-surga-Nya lebih
baik bagi kita daripada harta dan anak-anak, sebab kadang-kadang di antara
mereka itu menjadi musuh dan kebanyakan mereka tidak memberi arti apa-apa bagi
kita, sedang Allah adalah Dzat yang Maha Mengatur, yang memiliki dunia dan
akhirat. Dan, Dia memiliki pahala yang besar pada hari pembalasan.
Dengan
demikian, mari kita bangun kesholehan diri dengan meneladani kehidupan Nabi
sembari mengajak anak dan istri untuk menata diri menjadi orang yang sholeh.
Karena itulah harapan yang sebenar-benarnya bisa kita harapkan, bukan yang
lain.
Semoga
Allah memberikan kemudahan kita semua untuk menjadi pribadi sholeh demikian
pula dengan anak dan istri serta keluarga kita. Amin.||
Post a Comment