Larangan yang Dilarang, Larangan yang Dibolehkan
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Semoga Allah Ta’ala mengampuni saya.
Marilah kita mengingat firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an surat Luqman:
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
“Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman, 31: 19).
Apa yang buruk dengan suara keledai? Suara yang keras, tidak enak didengar, serupa membentak. Tidak patut kita menggunakan suara semacam ini pada saat berbicara, meskipun kepada anak-anak kita. Bersuara keras tanpa ada maslahat yang memang mengharuskan untuk keras, terlebih tak enak didengar dan menjengkelkan, menjadikan nasehat yang baik akan terasa menyebalkan. Apalagi jika itu digunakan untuk menyampaikan larangan, semakin menimbulkan penolakan.
Apa yang sebenarnya terjadi pada kita? Banyak orangtua maupun guru yang begitu buruknya melihat larangan, seolah larangan itu mematikan sel-sel otak dan bahkan jutaan sel pula, sehingga kita meninggalkan apa yang justru ada contohnya dari generasi salafush shalih. Kita menganggap larangan itu sebagai penghambat pendidikan, padahal masalahnya lebih kepada bagaimana kita seharusnya melarang serta suara yang kita gunakan saat menyampaikan larangan. Kerap terjadi dalam berbagai forum keayahbundaan (parenting), mengesankan buruknya larangan dengan suara keledai yang menggelegar dan tidak enak didengar. Sementara ketika menunjukkan cara komunikasi yang berbeda menggunakan nada suara yang lebih bersahabat bagi telinga dan lebih dekat dengan sunnah. Alhasil, banyak pendidik merasa bahwa melarang merupakan seburuk-buruk cara mendidik yang ada di muka bumi. Cara lain itulah yang baik. Padahal ada faktor lain yang perlu diperhatikan, yakni suara kita saat berbicara maupun suara narasumber saat memberikan contoh dan mendemonstrasikan baik buruknya teknik komunikasi.
Apakah dengan demikian kita merdeka untuk menghujani anak dengan berbagai larangan? Tidak. Sebaik-baik perkataan adalah kitabuLlah dan sebaik-baik petunjuk adalah sunnah Rasulullah Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Maka kepada wahyain (dua wahyu) inilah kita mengacu, melihat contoh dan berusaha mengilmui prinsip-prinsipnya. Kita menyampaikan larangan, perintah maupun nasehat yang berisi pertimbangan kepada anak untuk mengokohkan kebaikan maupun meluruskan kesalahan.
Inilah yang perlu kita gali dan pelajari agar dapat mendidik anak dengan baik (semoga Allah Ta’ala menolong kita dalam membaguskan anak-anak kita serta diri kita sendiri). Kita perlu belajar untuk menakar tindakan, tidak tergesa-gesa dalam bertindak agar tidak keliru mencela di saat harus memberi penghargaan atau sebaliknya.
Sesungguhnya setiap anak lahir dengan dorongan berbuat baik. Ia mencintai kebaikan dan secara naluriah ingin menjaga diri dari keburukan. Tetapi, pada saat lahir, mereka belum mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan. Orangtuanyalah yang keliru memberi tepuk tangan pada keburukannya sehingga anak justru bersemangat mengulangi, sementara saat berbuat baik kita kadang justru mengabaikannya sehingga anak enggan melakukannya lagi. Hanya gara-gara berbuat baik pada adiknya di waktu yang tidak tepat, mata kita melotot dan tangan kita segera memberi pesan pada lengannya dengan sebuah cubitan yang membuatnya meringis kesakitan. Padahal yang seharusnya kita lakukan adalah memuji iktikadnya dan meluruskan tindakannya. Bukan menyalah-nyalahkan. Apalagi mempersalahkan. Sebab setiap anak pada dasarnya tidak mau disalahkan dan dicela. Apalagi dipermalukan. Tetapi, mereka akan senang apabila dihargai dan ditunjukkan apa yang lebih baik bagi mereka.
Apakah ini berarti kita tidak boleh menunjukkan kesalahan anak? Bukan begitu. Jika kita tidak menunjukkan kesalahan anak, mengajari anak untuk menyadari kesalahannya dan selanjutnya berani mengakui kesalahannya, mereka justru dapat berkembang menjadi pribadi yang rapuh tidak tahan kritik. Bahkan menerima teguran yang tak seberapa sekalipun, membuatnya tersinggung dan meradang. Padahal sebagai muslim, kita dituntut untuk saling menasehati, saling mengingatkan dalam kebenaran, mengoreksi yang salah dan bahkan nahy munkar (mencegah kemungkaran). Jika anak-anak tidak dididik untuk menerima dan mengakui kesalahannya, maka sulit sekali mereka menerima teguran dari sesama muslim, yang paling halus sekalipun.
Alangkah banyak kemajuan yang justru bersumber dari kesediaan menerima dan mengakui kesalahan, lalu dengan itu memperbaikinya. Sangat berbeda menyalah-nyalahkan dengan menunjukkan kesalahan. Adakalanya kita bahkan perlu mengingatkan anak terhadap kesalahannya, terutama untuk anak yang sudah beranjak besar. Mereka mulai mengerti; mampu membedakan benar dan salah dengan akalnya.
Berkenaan dengan menunjukkan kesalahan anak, sekedar contoh saja, ada buku yang patut dipelajari. Judulnya Better by Mistake: The Unexpected Benefits of Being Wrong. Apa yang menarik dari buku ini? Merujuk kepada penelitian terhadap bangsa China, Korea Selatan dan Jepang, menunjukkan kesalahan anak dan mengajak menelusuri mengapa kesalahan tersebut dapat terjadi merupakan hal yang sangat berperan terhadap kemajuan pendidikan. Anak bersemangat mengetahui kesalahannya sekaligus belajar bagaimana memperbaikinya di masa yang akan datang. Artinya, ada kesiapan anak untuk menerima kesalahan, kesiapan teman-teman sebaya untuk menerima sebagai hal yang dapat terjadi pada siapa pun, ada dukungan dari lingkungan untuk belajar dari kesalahan (termasuk dari teman-teman sebaya) dan ada umpan balik dari guru. Jadi bukan sekedar menunjukkan kesalahan. Apalagi hanya menyalah-nyalahkan saja.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Tentu, ada kesalahan yang hanya patut kita sampaikan kepada anak tanpa diketahui orang lain. Ini merupakan kesalahan yang apabila disampaikan di depan anak-anak yang lain akan menjadi aib baginya, sehingga jika orangtua maupun guru melakukannya dapat membangkitkan dendam pada diri anak. Yang demikian ini merupakan salah satu penyebab kenakalan anak. Khusus berkait dengan kenakalan, saya berharap dapat menuliskannya dalam satu buku terpisah. Insya Allah. Kepada Allah Ta’ala saya memohon petunjuk dan kemudahan.
Tetapi...
Sulit bagi anak untuk menerima kesalahan, bahwa dirinya melakukan kesalahan, jika kita menyampaikannya dengan nada mencemooh. Sulit pula bagi anak mengakui kesalahan jika kita tidak membiasakannya menerima kritik. Hanya memuji tanpa memberikan koreksi justru dapat menjadikan anak mudah tersinggung jika ditunjukkan kesalahannya. Begitu pula jika anak terlalu sering memperoleh kritik. Hal yang sama –sulit menerima kritik dan koreksi—jika mereka sangat jarang menerima perintah dan larangan.
Jika kita ingin mengantarkan anak-anak agar dapat menundukkan hatinya di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, maka ketahuilah bentuk ujian yang paling nyata dari Allah Ta’ala kepada manusia adalah perintah-perintah serta larangan-larangan. Tidak bernilai amal dan ibadah kecuali yang benar-benar dilakukan ikhlas semata mengharap ridha Allah Ta’ala. Tetapi ikhlas bukan berarti ringan di hati. Berat hati tapi tetap melaksanakan demi memperoleh ridha Allah Ta’ala, pun demikian dalam menjauhi apa yang dilarang, maka itulah ikhlas. Dan kita sebagai orangtua perlu menyiapkan ruhani anak agar tidak merasa terganggu “haknya” oleh perintah-perintah serta larangan-larangan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (QS. Al-Insan, 76: 2).
Nah.
Meskipun demikian, terlalu banyak memberikan perintah dan larangan tanpa memberi kesempatan untuk berbincang bersama maupun bertukar pikiran, dapat menjadikan kehilangan inisiatif-inisiatif produktifnya. Sesungguhnya, segala sesuatu yang melampaui batas akan keluar dari kebaikan. Pertanyaannya, bagaimana dengan kita selaku orangtua? Sudah tepatkah? Ataukah kita termasuk orang-orang yang melampaui batas? Atau sebaliknya, kita masih lemah dalam mendidik anak?
Sebelum beralih ke perbincangan berikutnya, mari sejenak kita ingat do’a-do’a yang dituntunkan bagi kita untuk memohon kepada Allah Ta’ala. Di antara do’a tersebut ada yang menggunakan kalimat larangan. Apakah ini bermakna kita melarang (apalagi melarang keras) Allah Ta’ala? Tidak. Sama sekali tidak. Tak ada kepatutan bagi kita, tak pula kekuasaan. Ini merupakan kalimat larangan yang bermakna permohonan penuh harap. Dalam mendidik anak, kita pun dapat menyampaikan kalimat-kalimat larangan yang bermakna harapan kepada anak-anak kita.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Semoga Allah Ta’ala menolong kita, membaguskan anak-anak kita, dan memperbaiki apa yang buruk dari cara kita mendidik anak.
Mohammad Fauzil Adhim, Twitter @kupinang
Admin @emthorif
Post a Comment