Kejelasan Standar Lulusan Sekolah
Oleh :
Mohammad Fauzil Adhim
Cara
paling sederhana untuk melihat sebuah sekolah adalah dengan memeriksa kejelasan
standar lulusan yang ingin dihasilkan. Ungkapan indah tak cukup menggambarkan.
Yang sangat penting adalah jabaran tentang apa yang harus diraih di jenjang
tersebut. Nah, di sinilah kita melihat banyak sekolah yang tidak memiliki
rumusan jelas dan rinci tentang output
profile (profil lulusan). Meskipun, sekali lagi, kadang kita menjumpai
rumusan sangat wah, tapi tidak konkret
apa yang mau dicapai.
Tidak
jelasnya standar profil lulusan yang dihasilkan serta kurangnya rincian
menjadikan sekolah sulit mengevaluasi kinerja. Sekolah tidak mampu melakukan
asesmen untuk menentukan apa yang harus dilakukan pada waktu tertentu di tiap
jenjangnya. Di samping itu, sekolah juga mudah terkena jebakan proses. Ketika
muncul masalah, sekolah tak menggali akar masalah, tapi segera menganggap
wajar. Sekolah mudah mengampuni diri sendiri karena jebakan ungkapan
"semua perlu proses". Padahal untuk rusak dan semakin rusak pun perlu
proses.
Munculnya
masalah dalam proses pendidikan memang wajar. Tapi yang disebut wajar tidak
otomatis selesai seiring berlangsungnya proses. Perlu penanganan yang tepat,
akurat dan segera agar masalah segera selesai dan tidak berkembang menjadi
gangguan pendidikan yang serius. Salah satu hal yang memudahkan sekolah
mengenali masalah adalah kejelasan standar profil lulusan. Dari sini dapat
diketahui apakah proses kependidikan yang berlangsung sudah sesuai atau belum
dengan tujuan yang ingin dicapai beserta tahapan per jenjangnya.
Tidak
sesuainya proses dengan standar yang ingin diraih kadang tidak tampak sebagai
masalah karena tidak menimbulkan situasi chaos.
Ini terutama di kelas-kelas awal. Masalah tidak tampak karena dampaknya belum
terlihat, padahal sesungguhnya sudah mulai ada masalah. Nah, justru di sinilah
letak pentingnya standar profil lulusan yang jelas dan menjadi misi bersama
yang kuat. Inilah yang memudahkan sekolah untuk senantiasa berbenah bahkan saat
tampak sangat baik dan tidak ada masalah. Tanpa kepekaan terhadap standar
lulusan yang ingin dihasilkan, masalah bukanlah semata ketidaksesuaian proses.
Tetapi masalah adalah kesulitan atau gangguan (trouble) yang timbul dari unsur pendidikan, baik guru maupun siswa.
Di sini, berkelahi baru dianggap masalah. Adapun anak yang pasif, ketiadaan
antusiasme di kelas dianggap sebagai kewajaran. Misalnya menganggap anak memang
belum sadar belajar.
Ada
beragam cara untuk mengenali masalah maupun potensi masalah. Ini juga berguna
bagi para calon wali murid yang mencari sekolah anak. Ada cara yang kompleks.
Ini terutama penting bagi yang mau membenahi sekolah. Ada yang sederhana. Ini
berguna untuk calon wali murid.
Selain
melihat ada tidaknya rumusan standar profil lulusan yang jelas, juga
memperhatikan fungsional tidaknya organisasi. Apakah ada gejala disfungsi
organisasi di sekolah tersebut? Bagian terendah dari berfungsi tidaknya
organisasi secara efektif adalah kepercayaan. Ini antara lain tercermin dari
kualitas hubungan antar pribadi di sekolah, khususnya antar guru. Sekolah yang
mengalami disfungsi organisasi pasti hubungan antar guru tidak kohesif.
Hubungan antara guru dan tenaga kependidikan yang lainnya semisal janitor
(petugas kebersihan WC) juga tidak kohesif.
Itu
merupakan penanda yang sederhana. Jika tidak kohesif saja menunjukkan kurang
berfungsinya organisasi, apalagi jika hubungan buruk. Pada tingkat lebih parah,
akan terbentuk blok-blok antar guru maupun tenaga kependidikan lainnya. Jika
ini ada, sekolah dalam bahaya.
*** Ini
merupakan serangkaian tweet saya
beberapa waktu lalu; serangkaian tweet yang
belum selesai. Bagi yang berminat tentang masalah ini antara lain dapat membaca
buku the Five Dysfunctions of a Team beserta
buku rangkaiannya karya Lencioni serta buku-buku mengenai fasilitasi perubahan
di sekolah.
Mohammad
Fauzil Adhim, Penulis buku Segenggam
Iman Anak Kita. Twitter: @kupinang
Admin @emthorif
Post a Comment