Belajar Memahami Proses Belajar
Oleh : Galih Setiawan
Jika
mendengar kata anak berprestasi, hampir bisa dipastikan yang terlintas di benak
sebagian besar orangtua adalah anak yang mempunya nilai bagus di semua nilai
pelajaran. Anak berprestasi adalah anak yang mampu menjuarai olimpiade sains,
meraih ranking pertama di kelas, meraih nilai bagus dalam ulangan dan
sebagainya. Yang jelas patokannya adalah pada nilai.
Tak bisa
dipungkiri, inilah realita yang ada di masyarakat dalam mengukur pembelajaran
anak di sekolah. Orangtua mengukur keberhasilan anak berdasarkan nilai
ulangan yang bagus dan ranking di buku rapor. Orangtua tentu akan kecewa
jika mendapati nilai ulangan anaknya jelek. Orangtua pasti juga kecewa jika
nilai rapor anaknya tidak sesuai harapan. Sebaliknya, jika nilai ulangan
atau rapornya bagus, pasti orangtua akan gembira. Bahkan bisa dengan bangga
menunjukkan prestasi anaknya tersebut kepada keluarga dan tetangga. Atau bukan
tak mungkin diupload di media sosial.
Jika hanya
berorientasi nilai, maka anak justru akan terbeban dalam menjalani proses
pendidikan. Anak-anak pun menjalani proses belajar hanya untuk mendapatkan
nilai bagus. Kadang sampai tidak mempedulikan bagaimana proses untuk
mendapatkan nilai nagus tersebut. Bisa dengan mencontek, berbuat curang dalam
ujian dan sebagainya, Akibatnya, hal-hal dasar dalam pendidikan akhirnya
terabaikan. Contohnya bisa terlihat ketika pengumuman kelulusan sekolah.
Banyak siswa yang melampiaskan kegembiraannya dengan coret-coret baju hingga
konvoi ke jalan raya. Seolah mereka sedang meluapkan perasaan terkekangnya
selama belajar. Seolah belajar dianggap sebagai sebuah beban hingga ketika
sudah lulus dirayakan dengan cara seperti itu.
Tujuan pendidikan
adalah membentuk watak dan karakter mulia yang sudah ada dalam diri setiap
anak, Andaikan tiap orangtua menyadari hal ini, maka tidak akan ada anak yang
terbebani. Anak akan leluasa mengembangkan minat dan potensinya
masing-masing.
Tidak adil jika
penilaian prestasi hanya berdasarkan komparasi antara satu anak dengan anak
yang lain. Yang lebih fair, anak dibandingkan dengan dirinya
sendiri. Hasil belajar hari ini dibandingkan dengan hasil kemarin,
semester sekarang dengan semester sebelumnya, dan tahun ini dengan tahun lalu.
Dengan
demikian, pembelajaran akan fokus pada anak per anak. Sebab setiap anak membutuhkan
pendekatan yang personal sesuai dengan keunggulannya. Hal yang menjadi
persamaan adalah, proses pembelajaran yang dilakukan merujuk pada bentuk
pengalaman kegiatan belajar. Konten materi pembelajaran dilekatkan pada
konteks, isi dilampirkan pada makna, sehingga muncullah nilai-nilai universal
yang mengkristal dalam pemahaman dan sikap anak. Nilai-nilai inilah yang
akan menjadi bekal mengarungi kehidupan yang keras dan terjal. Kita menyebutnya
karakter yang baik, perilaku terpuji, atau akhlak yang mulia.
Maka,
prestasi bukan hanya diukur dari nilai yang bagus. Namun juga bagaimana efek
pembelajaran di dalam kehidupan sehari-hari anak. Misalnya, anak mendapatkan
pelajaran bahwa shalat lima waktu itu wajib. Maka penilaian prestasi tidak
hanya sekedar mendapatkan nilai bagus dalam ulangan, namun juga bagaimana
proses anak dalam melaksanakan shalat lima waktu tersebut. Atau misalnya
penanaman nilai sosial dalam pelajaran IPS, prestasi bisa disimbolkan dalam
bagaimana ketika anak menjumpai kejadian nyata yang ia pelajari di sekolah.
Misalnya ketika melihat ada teman yang berangkat sekolah jalan kaki, sedang dia
bersepeda. Apakah ia membiarkan temannya berjalan, atau memboncengkan temannya
dengan sepeda?
Memang hal
ini tidak akan masuk ranah penilaian akademik. Namun hal ini menunjukkan bahwa
anak sudah memahami proses belajar yang ia lakukan. Tidak hanya mengendap
sebatas teori. Mengapa proses belajar yang harus dihargai daripada hasil?
Karena proses itulah pembelajaran anak yang hakiki. Target-target belajar
diraih melalui pengalaman dan pembiasaan. Dalam tradisi Islam, pembiasaan
ini disebut riyadhoh atau latihan jiwa. Anak ditempa dengan pengalaman
bermakna. Anak juga diberi pilihan-pilihan yang mendewasakan, tentunya
dengan bimbingan dan pendampingan guru. Semua kegiatan dan
aktivitas dipantau, dievaluasi dan didiskusikan dengan anak. Dari situlah
timbul pemahaman yang konstruktif, anak tidak melulu disuapi dengan definisi
dan pengetahuan tanpa memahaminya. Itu semua sangat penting karena
belajar adalah pembentukan jiwa anak, supaya mereka menjadi generasi yang tangguh,
mandiri, dan mulia.
*) Galih
Setiawan, Redaktur Majalah Fahma
Admin @emthorif
Post a Comment