Dilema Gadget
Oleh : O. Solihin
Teknologi informasi dan komunikasi saat ini menjadi salah satu teknologi yang paling mudah nyeteldengan kita. User friendly. Sebab, seperti kata slogan sebuah produk ponsel: “teknologi yang mengerti Anda”. Ya, teknologi komunikasi ini memang disesuaikan dengan manusia sebagai penggunanya.
Nah, karena manusia makhluk sosial, dan salah satu cirinya adalah keinginan manusia untuk berinteraksi dengan manusia lainnya, maka teknologi informasi dan komunikasi ini menjadi alat yang memudahkan antar manusia untuk saling berhubungan. Bentuk hubungan komunikasinya bisa dengan cara verbal, maupun nonverbal. Cara verbal adalah dengan lisan, seperti menelepon menggunakan ponsel. Sementara cara nonverbal bisa dengan gerak tubuh, jeritan dan desahan, juga dengan tulisan dan gambar.
Saat ini, ponsel dan internet khususnya, memang mengakomodasi kebutuhan manusia akan teks, suara, dan gambar (termasuk video). Itu sebabnya, bukan hanya remaja yang lebih asik nundukmelototin gadget, berinteraksi dengan kawan-kawannya di dunia maya, tetapi juga mahasiwa dan pekerja, bahkan para orang tua yang ingin tampil eksis berbalut narsis ikut ‘nunduk’ di berbagai kesempatan: di jalan, di kendaraan umum, di tempat kerja, bahkan di kamarnya sendiri, termasuk mungkin saja ada yang tetap nekat membawa ke kamar mandi saking pengennya dapetin update info dari kawan-kawannya atau karena ingin update keberadaan diri dan kondisinya agar orang lain tahu aktivitas yang sedang dijalaninya.
Beragam pilihan gadget saat ini membuat pusing sebagian dari kita. Bukan karena harganya saja, tetapi semua gadget ingin dimiliki sekaligus. Seorang teman bercerita bahwa dirinya sempat naik bus dan melihat orang yang membawa gadget begitu banyak di tasnya. Dari mulai beragam smartphone, hingga tablet dan netbook. Saya sempat memberi komentar atas cerita kawan saya itu, “mungkin dia tukang servis gadget,” seloroh saya sambil tersenyum. Teman saya cepat menanggapi, “Tidaklah Pak, saya lihat dia asik berkomunikasi via smartphone dan tabletnya kok. Gonta-ganti lagi. Kemungkinan dia sendiri pemilik semua gadget itu,” paparnya.
Teknologi informasi telah mengubah cara kita berkomunikasi dan tentu sekaligus mengubah gaya hidup kita. Jika dahulu harus berkirim surat via pos, kini tak usah repot-repot, tinggal kirim SMS dan dalam hitungan detik pesan sudah sampai. Apalagi sekarang di kampung juga sudah banyak orang yang punya ponsel. Sebab, BTS (base transceiver station) didirikan hingga di desa-desa. Artinya, sinyal tetap nyala. Tak ada blank spot-nya meski di daerah terpencil.
Belum lagi teknologi 3G jika sudah merata penyebarannya. Nonton televisi tak perlu lagi diam di rumah. Sambil di perjalanan bisa nonton siaran sepakbola dari mobile television. Bisa video conference dan video call. Dengan teknologi ini kita bisa bertatap muka dengan orang yang kita telepon. Kita pun bisa mengakses mobile video. Dengan kemajuan seperti ini, tentu bukan hanya cara kita dalam berkomunikasi yang berubah, tapi juga gaya hidup. Memang, fasilitas ini masih terbatas bagi kalangan tertentu saja yang memang memiliki ponsel yang mendukung generasi 3G (malah sekarang sudah ada generasi 4G). Bukan tak mungkin suatu saat nanti, malah harga ponsel jenis itu sudah terjangkau oleh semua kalangan, dari golongan ekonomi kelas menengah.
Namun, saat ini gadget membuat dilema bagi sebagian orang. Utamanya bagi mereka yang tak puas dengan satu layanan operator seluler dan kualitas gadget yang sudah dimiliki sebelumnya. Satu orang ada yang bisa memiliki simcard lebih dari 1. Untuk mengintip kecenderungan seperti itu, pantau saja produk-produk ponsel yang menawarkan empat simcard sekaligus tertanam dalam satu ponsel. Itu artinya produsen sudah melihat peluang pasarnya yang satu orang bisa memiliki kartu lebih dari 1 untuk berbagai keperluan yang dipisah-pisah. Saya kadang berseloroh dengan beberapa kawan, ternyata bukan saja poligami yang diminati, tetapi juga ‘polisimcard’. Jangan ditanya bagaimana cara berkomunikasi dengan orang yang memiliki simcard hingga empat biji itu, sebab sudah pasti betapa repotnya. Terutama untuk mengisi pulsanya.
Bagi mereka yang merasa harus update teknologi (atau justru korban iklan?) mungkin hal itu adalah solusi untuk memenuhi kepuasannya akan informasi dan komunikasi. Ketika Blackberry jadi primadona komunikasi smartphone, mereka segera miliki untuk update teknologi. Saat muncul produk keluaran Apple melimpah: dari mulai iPod, iPhone, hingga iPad, mereka juga segera update. Begitu Android naik daun, tak segan berburu smartphone dan tablet si robot ijo tersebut.
Sayangnya, banyak dari kita yang tersandera gadget hanya untuk kepentingan gaya hidup, bukan kebutuhan komunikasi semata. Akibatnya, berlomba untuk mendapatkan status sosial dari orang lain dengan label pemilik gadget tertentu ketimbang menjalin komunikasi yang efektif dan efisien dengan orang lain. Mereka menganggap memiliki gadget tertentu akan berkorelasi pada kekayaan, pendidikan, jenis pekerjaan dan hal duniawi lainnya, lalu mengangankan dirinya akan ditaburi decak kagum manusia lalu menepuk dada.
Padahal, sebagai muslim kita seharusnya menunjukkan ketakwaan sebagai status termulia di hadapan Allah Swt.: Inna akromakum ‘indallaahi atqookum (Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu—al-Quran surat al-Hujuraat ayat 13)[]
Salam,
O. Solihin | Twitter @osolihin | www.osolihin.net
Post a Comment