Kolom Prof. In : Guru, Pengemudi dan Sosiolog
Oleh : Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A.
Seperti
biasanya, setelah lebaran pasti sulit mencari tiket pesawat, sehingga saya naik
kereta api untuk memenuhi undangan pertemuan di Jakarta. Kebetulan kereta yang
saya tumpangi sampai di tujuan bisa tepat waktu, yaitu menjelang Subuh, sesuai
dengan jadwal yang tertulis di tiket.
Sebetulnya
pihak pengundang telah menawarkan penjemputan di stasiun, namun saya keberatan
karena jarak antara stasiun dengan tempat tinggalnya jauh sekali, sehingga dia harus
berangkat dari rumah jam 3 dini hari. Agar tidak terlalu merepotkan, maka saya putuskan
untuk naik taksi saja, sekalian meneruskan rejekinya pengemudi taksi.
Saat penumpang keluar dari stasiun, seperti biasanya mereka sudah
ditunggu oleh para pengemudi taksi, baik pribadi maupun resmi. Berhubung masih
sepi, saya merasa nyaman kalau menggunakan taksi resmi. Lalu saya memilih di antara pengemudi itu yang menggunakan pakaian seragam atau paling
tidak yang pakaiannya terlihat resmi. Subhanallah
...manusia hanya merencanakan, Allah menghendaki lain, ternyata yang terpilih
adalah taksi pribadi, yang sebetulnya tidak saya inginkan. Namun di balik semua ini pasti ada
hikmahnya.
Untuk memecah
keheningan di dalam kendaraan, saya mulai membuka pembicaraan dengan bapak pengemudi.
Kebanyakan mereka memang enggan memulai bicara, khawatir kalau mengganggu
penumpang yang mungkin ingin istirahat. Seperti biasanya saya mulai dengan
pertanyaan ringan. “Dari kota mana asalnya?”, “Sudah berapa lama menjadi
pengemudi?”, “Putranya berapa?”, “Tadi keluar rumah jam berapa,
dan jam berapa nanti pulang ke rumah?”. Jawaban dari pertanyaan
terakhirlah yang membuat saya heran, bahwa bapak itu harus sampai rumah sebelum
jam enam pagi, karena beliau harus tiba di sebuah sekolah sebelum jam tujuh.
Saya kira bapak
itu ke sekolah untuk mengantar atau menjemput penumpang. Namun ternyata beliau itu seorang guru, yang pekerjaan sampingannya
sebagai pengemudi taksi pribadi. Hebatnya lagi, beliau adalah guru di sekolah
menengah atas, yang tugasnya tidak ringan karena murid-muridnya sudah menginjak
dewasa. Karena suasana sudah cair, akhirnya beliau bercerita tentang sejarah
perjalanan pekerjaannya.
Ketika pertamakali
beliau bekerja, 25 tahun silam, di mana saat itu guru masih merupakan profesi yang hanya dipandang
sebelah mata, tidak seperti sekarang ini. Waktu itu banyak pencari kerja yang
tidak tertarik dengan profesi guru, karena kalau dilihat dari sisi penghasilan
memang tidak bisa diharapkan. Sehingga untuk menambah pendapatan, beliau bekerjasama
dengan temannya yang mempunyai mobil. Dipilihnya stasiun sebagai lokasi mencari
penumpang, karena setelah mengantar satu atau dua penumpang, beliau masih bisa
ke sekolah. Meskipun harus berangkat dari rumah jam 2 atau 3 dini hari, shalat Subuh di stasiun.
Dengan
ketekunan, kesabaran dan kerja keras dalam menawarkan jasa, setiap harinya
hampir selalu dapat penumpang. Mungkin ini juga berkat doa dari murid-muridnya.
Akhirnya beliau memberanikan diri membeli mobil dengan cara kredit. Bahkan
istrinya yang semula bekerja, disuruh berhenti agar bisa mendampingi dan
mendidik putra-putrinya dengan lebih baik.
Meskipun saat
ini gaji guru sudah membaik, namun pekerjaan
sampingannya masih dipertahankan karena ada pertimbangan lain yang bersifat
akademis. Sebagai guru, beliau memberikan mata pelajaran yang ada kaitannya
dengan sosiologi (ilmu tentang sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat). Dalam pelajaran
ini diperlukan seorang guru yang kaya wawasan dan pengalaman langsung di
masyarakat. Dengan menjadi pengemudi maka syarat tersebut akan bisa terpenuhi
dengan lebih mudah.
Pengalamannya
didapat ketika mengantar berbagai macam karakter tamu ke manapun tujuannya.
Mulai dari tempat ibadah, keramaian,kantor-rumah, hotel dan sampai ke tempat
(maaf) maksiat telah beliau datangi. Pengalaman baik, buruk, menyenangkan,
menjengkelkan, diceritakan ke murid-muridnya agar mereka bisa mengambil hikmahnya.
Hal-hal yang beliau alami itu semua sulit ditemui di dalam literatur.
Perjalanan
hidup beliau ini merupakan contoh seorang pendidik yang mempertahankan kerja
sambilannya, demi untuk pengembangan wawasannya sebagai sosiolog, meskipun
harus dengan kerja ekstra. Wallahu a’lam bishawab.
*) Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A. Guru Besar Universitas Gajah Mada, Pimpinan
Umum Majalah Fahma
Admin@emthorif
Admin
Post a Comment