Memahami Akhirat


Oleh : Imam Nawawi

Zaman ini, tidak banyak yang membahas dan berusaha keras mengenal dan memahami akhirat. Hal ini karena akhirat memang wilayah invisible yang rasio dan indera manusia tidak akan pernah mengenal dan memahaminya kecuali bersungguh-sungguh memahami Al-Qur’an dan Hadits.
Akibatnya manusia sangat reaktif jika berurusan dengan segala macam perkara keduniaan sampai lupa dengan kampung abadi, akhirat. Di sisi lain, akhirat dianggap urusan nanti. Termasuk muncul asumsi bahwa ketertinggalan umat Islam karena banyak bicara akhirat lupa ihwal duniawi.
Tetapi, yang sejatinya terjadi, entah itu keburukan, kesemerawutan, dan ketidakjelasan kehidupan umat manusia faktor utamanya dikarenakan gagal memahami akhirat. Aktivitas duniawi dinilainya terpisah dari perkara ukhrowi. Pada akhirnya orientasi hidup hampir seluruh umat manusia, termasuk sebagian besar umat Islam adalah memburu kesenangan duniawi.
Padahal, Allah Ta’ala menjelaskan, duniawi itu sementara dan ukhrowi itulah kehidupan yang sesungguhnya.
“Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (QS. Al-Qashash [28]: 60).
Ibn katsir menjelaskan bahwa ayat itu menunjukkan keberadaan kesenangan duniawi yang fana dan kenikmatan akhirat yang kekal. Dengan kata lain, jika orientasi hidup umat Islam sebatas duniawi, kenikmatan yang fana itu mungkin akan direngkuh tetapi itu akan berdampak serius pada kestabilan sosial, yang pada akhirnya dunia kacau akhirat pun berantakan.
Sebagai bukti, korupsi itu adalah amalan orang yang tidak melihat akhirat kecuali sangat jauh. Akhirnya dipahaminya korupsi itu menguntungkan. Demikian pula dengan sifat-sifat negatif. Katakanlah seperti sifat malas; malas belajar, malas sholat, malas bekerja, semua itu akan menjadikan hidup kian tergantung dan rentan terhadap kemiskinan dan tentu juga terhadap kekufuran.
Berarti, siapa memahami akhirat kehidupan duniawi tidak semata akan maju, tetapi juga akan penuh keberkahan. Penguasa tidak akan berpikir bagaimana bisa korupsi dengan aman, rakyat kecil pun tetap optimis dalam amal, karya dan ibadah. Dan, tidak ada kemalasan pada seluruh lapisan masyarakat. Semua itu terjadi karena mereka sudah memahami akhirat.
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Qashash [28]: 83).
Tidak heran jika di zaman Nabi, umat Islam tidak sibuk bagaimana memperkaya diri, tetapi bagaimana mengisi hari demi hari untuk kebaikan akhirat.
Abu Hurairah meriwayatkan, “Suatu hari beberapa sahabat yang fakir datang menemui Nabi. Mereka berkata: “Orang-orang kaya telah ‘memborong’ semua amal kebaikan dan derjat yang tinggi di sisi Allah.” Rasulullah bertanya: “Kenapa demikian?” Mereka menjelaskan: “Orang-orang kaya itu shalat seperti kami. Mereka juga berjihad sebagaimana kami berjihad. Tapi mereka bisa bersedekah dan berinfak dari kelebihan harta yang mereka punya. Sementara kami tidak punya kelebihan harta untuk bisa seperti mereka.” (HR. Bukhari). Demikianlah jiwa-jiwa yang memahami akhirat.*/Imam Nawawi >>> twitter @abuilmia
Powered by Blogger.
close