PR Mencerdaskan untuk Anak Kita
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Mari sejenak kita berbincang tentang pekerjaan rumah untuk anak-anak kita. Adakah manfaatnya? Pembahasan tentang PR ini saya dasarkan pada buku The Art and Science of Teaching karya Robert J. Marzano, ASCD, Alexandria, Virginia, 2007. Saya juga mendasarkan pada buku yang lebih khusus, yakni Rethinking Homework karya Cathy Vatterott, Alexandria, Virginia, 2009.
Secara sederhana, tujuan pemberian PR adalah untuk mendukung pembelajaran pada salah satu dari empat cara, memberi pengalaman prabelajar. Bisa pula untuk mengecheck pemahaman, praktek atau pemrosesan.
Prabelajar. PR diberikan untuk mengenalkan siswa terhadap topik atau latar belakang tema yang akan dipelajari, sehingga anak akan lebih siap untuk mempelajari materi secara lebih mendalam. Kita dapat menugaskan siswa untuk membaca atau membuat garis besar bab. Dapat pula berupa tugas untuk menemukan apa yang telah diketahui oleh siswa tentang topik yang akan dipelajari. Dapat pula kita arahkan untuk menggali apa yang mereka ingin pelajari dari bab atau tema tersebut.
Kita juga dapat memberi tugas kepada siswa untuk menulis berbagai pertanyaan mereka sendiri, misal tentang sistem pencernaan. Manfaatnya, tugas menulis pertanyaan ini dapat memancing rasa ingin tahu sekaligus menciptakan keterlibatan siswa pada tema tersebut. Pemberian PR prabelajar dapat pula diarahkan untuk merangsang ketertarikan anak terhadap konsep yang akan dipelajari.
Adapun PR untuk menakar sejauh mana siswa telah memahami apa yang dijelaskan oleh pengajar di kelas, bentuknya beragam. Umumnya guru memberikan PR untuk mengetahui sejauh mana siswa mampu memahami apa yang telah dijelaskan di kelas. PR jenis ini juga dapat menjadi cara bagi guru untuk memperoleh insight (letikan ide) untuk pembelajaran siswa. Contoh PR yang semacam ini adalah menugasi siswa menyelesaikan sejumlah soal matematika dan menerangkan cara menyelesaikan soal tersebut.
Dalam hal ini, seorang guru seharusnya tidak hanya memeriksa PR siswanya. Lebih dari itu, menggali bagaimana mereka menyelesaikan soal tersebut. Guru bertanya kepada tiap-tiap siswa langkah-langkah menyelesaikan soal yang ada dalam PR tersebut sehingga dapat diketahui tingkat penguasaan materi masing-masing siswa. Berawal dari PR, guru dapat menentukan apa yang harus ia lakukan untuk meningkat mutu pembelajaran. Jadi, guru bukan hanya memeriksa hasil kerja siswa atas PR yang diberikan. Lebih penting lagi adalah mengetahui kepahaman siswa. Nah.
Jika ini dilakukan oleh guru secara benar, PR dapat membantu tugas guru dalam membangun kompetensi (penguasaan yang matang) siswa pada bidang studi yang ia ampu dengan senantiasa memeriksa tingkat penguasaan materi, lalu memberi umpan-balik. Hanya memeriksa hasil kerja siswa terhadap PR yang diberikan, dapat menjadikan guru terkecoh. Mengira siswa telah memiliki kompetensi, padahal baru sebatas kemampuan mengerjakan PR saat itu saja. Padahal boleh jadi, siswa menyelesaikan PR tanpa memahami materi. Siswa mampu menyelesaikan soal karena ada orang yang mendampingi di rumah untuk menyelesaikan tugas. Bukan memahamkan. Lebih parah lagi jika yang menyelesaikan PR tersebut sebenarnya bukan siswa, melainkan ibu atau orang lain. Siswa hanya pencatat. Karena itu, pemberian PR harus disertai tindak-lanjut yang jelas serta diiringi umpan-balik yang tepat sehingga siswa lebih bergairah belajar.
Bentuk lain PR untuk memeriksa tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang telah diajarkan adalah dengan memberikan jurnal yang meminta siswa untuk menjelaskan sekaligus menjawab mengapa. Ini misalnya PR terkait percobaan sains.
PR untuk Praktek alias Latihan Soal
Selain untuk menakar tingkat pemahaman anak terhadap materi yang telah diajarkan, PR kerap diberikan agar anak praktek lebih banyak. Anak diberi latihan-latihan soal untuk dikerjakan di rumah. PR untuk memperbanyak praktek diyakini banyak guru sebagai cara yang ampuh agar anak benar-benar menguasai pelajaran. Asumsi pokoknya adalah, makin sering praktek makin hebat penguasaan anak terhadap pelajaran tersebut. Asumsi PR jenis ini pula yang mendasari berbagai sekolah memberi latihan soal sebanyak-banyaknya pada siswa kelas 6 untuk hadapi ujian.
Meskipun sering praktek diperlukan untuk sejumlah jenis keterampilan, misal menghafal, tapi PR untuk tujuan ini kerap terjebak pada 3 kesalahan. Pertama, guru boleh jadi yakin telah memberi PR untuk melatih anak melakukan praktek. Tapi praktek itu hanyalah berlaku jika anak faham. Manakala anak sebenarnya belum faham konsep atau keterampilan tersebut di kelas, maka banyaknya PR praktek dapat menyebabkan anak frustrasi.
Tatkala anak tidak menguasai konsep atau keterampilan, memperbanyak praktek semisal mengerjakan soal berhitung, jadikan anak bosan. Jika tak tertangani, kebosanan akan meningkat menjadi akut, terutama jika PR tersebut hanya diperiksa dan dinilai saja. Kebosanan baru dapat menjadi tiket untuk meraih kegembiraan manakala guru memberi umpan balik yang tepat terhadap hasil pengerjaan PR siswa. Umpan balik yang baik menjadikan PR terasa bermakna buat anak, meski dia banyak melakukan kesalahan saat mengerjakan. Sebaliknya, tanpa umpan balik yang pas, PR dapat menjadikan anak merasakan kebosanan yang menyiksa, terutama jika di kelas menggunakan model pembelajaran yang berfokus pada guru (fun teaching dan sejenisnya). Bukan fokus pada penumbuhan orientasi belajar.
Meskipun menjawab salah, anak merasa memperoleh pengalaman berharga manakala guru mengajak anak “menemukan” kesalahan lalu “menemukan” jalan keluar yang benar. Ini antara lain dengan meminta siswa menerangkan caranya menemukan jawaban. Alina Tugend menunjukkan bahwa pendekatan model ini yang dikembangkan oleh para guru di Jepang. | Kawan di Jepang, benar demikian?
Sampai tahun 2007, pembelajaran di Jepang berfokus pada menghafal. Sesudah itu, guru memahamkan apa yang dihafalkan tersebut. Begitu Ken Watanabe yang asli Jepang menuliskan dalam bukunya: Problem Solving 101: A Simple Book for Smart People. Model pembelajaran inilah yang menghasilkan Jepang sekarang. Kesempatan menemukan kesalahan sendiri saat di kelas ini mendorong anak Jepang lebih menyukai soal beresiko gagal tinggi.
Lho, kok? Karena dengan itu ia mendapat manfaat lebih banyak dari kesalahannya. Ia menjadi lebih baik melalui kesalahan (better by mistakes). Sikap dasar ini pula yang mendasari Kaizen, gaya manajemen Jepang yang menekankan pada perbaikan terus-menerus.
Kembali ke soal PR untuk praktek. Kelemahan kedua PR jenis adalah manakala guru lalai memeriksa tingkat pemahaman siswa. Lebih parah lagi jika guru memang mengabaikan pentingnya menakar pemahaman TIAP siswa, bahkan ketika membahas PR di kelas. Ini kerap terjadi karena guru menganggap praktek yang lebih banyak melalui latihan soal bertumpuk merupakan cara agar siswa makin matang penguasaan materinya.
Pengabaian memeriksa pemahaman siswa dapat berakibat fatal jika siswa melakukan kesalahan saat mengerjakan dan menginternalisasi kesalahan konsep (miskonsepsi) atau prosedur tersebut hanya karena jawaban anak kebetulan hasilnya tepat. Cocok. Padahal anak mengerjakan soal dengan cara yang salah. Ini berbeda dengan anak yang menemukan cara berbeda, tapi tetap benar caranya.
Ketiga, praktek yang merata lebih baik dibanding praktek massal. PR praktek lebih efektif jika dibagi dalam beberapa hari. Memberi PR yang bertumpuk untuk praktek matematika misalnya, dan dibebankan pada satu waktu, dapat justru berakibat tidak baik. Terlebih jika guru tidak memberikan umpan balik memadai terhadap hasil pengerjaan soal tiap siswa. Kesalahan semakin terinternalisasi. Tidak adanya umpan balik memadai menjadikan anak yang sudah faham jadi malas mengerjakan PR. Sedang yang kurang faham bisa tertekan.
Agar Siswa Berpikir Lebih Mendalam
PR jenis keempat dimaksudkan agar siswa melakukan pemrosesan materi pelajaran yang telah dipelajari secara lebih mendalam. PR jenis ini kita berikan manakala kita menginginkan siswa melakukan refleksi mendalam terhadap konsep yang telah didiskusikan di kelas. Salah salah bentuknya adalah menugasi siswa menemukan masalah dan merumuskan dalam bentuk pertanyaan.
Sesungguhnya, pertanyaan yang baik adalah setengah dari ilmu. Maka, kemampuan anak bertanya secara cerdas dan berbobot akan sangat berharga. Nah, anak justru sulit menemukan pertanyaan kritis dan “baru” kecuali jika ia memahami materi dengan baik. Maka, PR jenis ini pada dasarnya merupakan strategi agar anak berpikir mendalam dan melakukan sintesis. Melalui PR jenis ini, guru merangsang kemampuan kognitif level kelima berdasarkan taksonomi kognitif dari Bloom. Dan guru tidak akan mampu memberikan PR semacam ini kecuali ia benar-benar seorang pengajar yang kompeten; baik dalam bidang studi yang ia ajarkan maupun dalam kecakapan mengajar.
Ini memberi pelajaran berharga bahwa untuk mampu memberi PR berbobot yang menggairahkan, guru harus banyak belajar. Guru juga dapat memberikan PR dalam bentuk penugasan untuk menerapkan keterampilan atau pengetahuan yang telah dipelajari. Guru menyajikan berbagai informasi yang disajikan terpisah-pisah dan meminta siswa “merangkai”. Atau sebaliknya, guru menyajikan “gambar besar” tentang suatu tema atau keadaan, lalu meminta siswa menemukan unsur-unsurnya.
Sebagaimana PR jenis lain, tugas ini baru akan bermakna apabila guru memberi umpan balik secara tepat. Merangkai berbagai informasi berserak memerlukan pijakan dan kemampuan alasan yang tepat. Proses penalaran sangat penting untuk PR jenis ini.
PR untuk pemrosesan juga dapat diberikan dalam bentuk proyek jangka panjang yang berkesinambungan. Kita memberi tugas merangkum dan menemukan konsep utama pada tiap topik dan bab. Sesungguhnya merangkum bukan sekedar memendekkan kalimat dan membuang bagian yang dianggap tidak perlu. Kemampuan merangkum berkait erat dengan kemampuan memahami konsep. Yang mahir merangkum, akan mudah menjelaskan.
Sesudah merangkum, guru dapat memberi PR untuk menjelaskan kembali atau menulis dalam bahasa sendiri apa yang telah dirangkum. Penugasan jenis ini mendorong siswa mencapai tingkat kemampuan kognitif yang tinggi. Tetapi jika salah desain, PR semacam ini akan jadi beban berat. Maka, guru hendaknya telah memastikan bahwa siswa sudah menguasai konsep dengan sangat baik sebelum memberi tugas jenis ini.
Salah satu cara menakar pemahaman anak adalah dengan memberi PR jenis kedua yang telah saya bahas di bagian awal tulisan ini. Tampak sepele tapi ketika diabaikan dapat menjadikan PR jadi sia-sia adalah menggairahkan anak dengan penugasan yang diberikan. Siswa sering tidak termotivasi mengerjakan PR karena tugas tidak dirasa penting. Meski demikian, jika anak memiliki adab yang kuat terhadap guru dan ‘ilmu, ia akan senantiasa bersemangat mengerjakan PR. Ini artinya, selain soal desain PR, menanamkan adab tetap sangat penting.
Pemberian tugas terlalu berat juga dapat menyebabkan anak kehilangan motivasi belajar. Bukan cuma motivasi kerjakan PR. Penugasan yang tidak tepat pun dapat menjadi demotivator, yakni sesuatu yang merusak motivasi anak, baik untuk belajar maupun ke sekolah. Sebaliknya, pemberian PR yang tepat akan menjadikan siswa senantiasa menemukan tantangan dan gairah untuk belajar lebih serius. Ini berarti, untuk memberikan PR yang tepat, guru perlu senantiasa belajar. Jika guru malas belajar, lalu bagaimana siswanya?!
*****
Masih banyak hal penting yang perlu kita perbincangkan seputar pekerjaan rumah untuk anak. Perbincangan kita kali ini pun baru sebatas empat jenis PR, dari yang saya harapkan dapat membahas berbagai aspek PR. Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Saya berharap dapat menuliskan pembahasan aspek lain dari PR untuk anak.
Masih banyak hal penting yang perlu kita perbincangkan seputar pekerjaan rumah untuk anak. Perbincangan kita kali ini pun baru sebatas empat jenis PR, dari yang saya harapkan dapat membahas berbagai aspek PR. Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Saya berharap dapat menuliskan pembahasan aspek lain dari PR untuk anak.
Wallahul musta’an.
* Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku-buku Parenting
Admin
Post a Comment