Seperti Apa Kelas Anak Kita?


Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Ada tiga macam kelas dilihat dari tingkat keterlibatan siswa terhadap proses pembelajaran, yakni kelas yang sangat menggugah (The Highly Engaged Classroom), kelas yang terkelola dengan baik (The Well Managed Classroom) serta kelas sakit yang bersifat patologis (The Pathological Classroom). Pertanyaannya, di sekolah Anda (tepatnya di sekolah tempat anak Anda belajar), kelas macam manakah yang umumnya ada?
Menurut Schlechty, ada lima cara siswa menanggapi dan beradaptasi terhadap tugas-tugas maupun kegiatan yang berhubungan dengan sekolah. Kelima cara menanggapi tugas-tugas maupun kegiatan tersebut berkait erat dengan tingkat perhatian maupun komitmen siswa. Selengkapnya, mari kita periksa satu per satu:
1. Engagement (Terlibat Penuh): Perhatian Tinggi – Komitmen Tinggi
Siswa mengaitkan tugas dengan hasil atau produk yang memiliki makna serta nilai (value) bagi dirinya. Ini bukanlah soal pemahaman, tetapi terutama pada bagaimana siswa menganggap dan merasakan betul bahwa seluruh rangkaian kegiatan sekolah maupun tugas yang menyertai memang sangat penting baginya; sangat berharga untuk hidupnya. Siswa yang seperti ini akan gigih dalam menghadapi berbagai kesulitan dan terus berusaha untuk belajar secara mendalam serta berusaha meraih keunggulan yang lebih tinggi.
Kelas yang banyak dipenuhi oleh siswa dengan tingkat keterlibatan sangat tinggi akan memudahkan guru mengajar. Mereka lebih mudah menyesuaikan diri dan mencurahkan perhatian besar kepada proses pembelajaran yang diberikan oleh guru karena memiliki komitmen tinggi untuk belajar. Kekurangan guru dalam mengajar tertutupi oleh besarnya kesungguhan siswa meraup ilmu. Akan sangat sempurna apabila siswa memiliki kesungguhan, perhatian dan komitmen tinggi terhadap belajar, sementara guru memiliki komitmen yang kuat, kesungguhan mengajar serta kemampuan menyampaikan materi secara sangat menarik.
Tingkat keterlibatan tinggi dalam belajar ini bisa muncul alamiah pada sebagian siswa kecil dengan berbagai sebab yang melatarbelakangi, dapat pula tumbuh sebagai hasil dari upaya terencana sekolah menumbuhkan sikap positif terhadap belajar, hormat kepada ilmu dan ahlul ilmi.
Sudahkah guru-guru di sekolah melakukannya semenjak awal? Di SD, tugas ini terutama berada pada pundak guru kelas 1-3, sehingga di tingkat berikutnya keterlibatan yang besar itu akan cenderung muncul pada diri tiap siswa.
2. Strategic Compliance (Kepatuhan Strategis): Perhatian Tinggi – Komitmen Rendah
Kegiatan maupun tugas yang diberikan kepada siswa sedikit sekali niat yang melekat atau secara langsung dirasakan oleh siswa, tetapi siswa mengaitkannya dengan capaian atau hasil yang memiliki nilai bagi siswa, semisal kenaikan kelas. Siswa bersungguh-sungguh pada sebagian kegiatan hanya karena itu mempengaruhi kelulusan, sementara ia sangat perlu lulus demi mengejar apa yang diharapkannya di perguruan tinggi, misalnya. Artinya, siswa mencurahkan perhatian bukan karena ia memiliki komitmen terhadap ilmu atau kegiatan yang dijalaninya tersebut, tetapi semata agar ia lebih mudah meraih apa yang diinginkannya.
Itu sebabnya siswa akan meninggalkan tugas-tugas, pekerjaan atau pelajaran yang dirasa berpengaruh apa pun terhadap pencapaian tujuan atau tidak bermanfaat untuk mempertahankan hasil yang diraihnya. Rumit? Gambaran sederhananya begini. Tatkala yang muncul hanyalah kepatuhan strategis, maka siswa tidak memberi perhatian kepada berbagai mata pelajaran maupun tugas yang tidak berhubungan secara langsung dengan kesuksesannya di masa yang akan datang, tidak juga mempengaruhi kelulusan. Siswa yang kurang relijius tidak merasa perlu belajar agama jika agama tidak turut menjadi penentu syarat kelulusan.
3. Ritual Compliance (Kepatuhan Ritual): Perhatian Rendah – Komitmen Rendah
Siswa mau melakukan upaya apa pun yang diperlukan semata-mata demi menghindarkan diri dari hukuman atau berbagai konsekuensi negatif lainnya. Ini akan lebih parah apabila sekolah atau kelas menerapkan model peraturan yang menekankan kepada konsekuensi negatif, tetapi konsekuensi tersebut tidak memiliki pengaruh yang berarti bagi siswa. Sederhananya, kepatuhan ritual ini akan lebih buruk lagi jika konsekuensi-konsekuensi yang muncul akibat pelanggaran adalah konsekuensi yang tidak menimbulkan rasa jera. Ini biasanya konsekuensi yang diusulkan siswa sendiri tatkala mereka dilibatkan dalam membuat peraturan kelas beserta konsekuensinya, sementara mereka belum memiliki kecintaan terhadap belajar.
Mengapa demikian? Sebab siswa yang memiliki kepatuhan ritual kurang sekali perhatiannya kepada belajar dan komitmennya kepada ilmu maupun keunggulan diri sendiri pun sangat rendah. Itu sebabnya, siswa hanya melakukan upaya minimal yang dapat menghindarkan diri dari konsekuensi negatif. Siswa melakukan tindakan yang dapat memenuhi ketentuan minimal (minimum requirements) untuk tidak terkena hukuman. Nah, manakala konsekuensi negatif atau pun hukuman tak lagi bermakna, maka upaya itu pun nyaris tidak diperlukan lagi.
Dalam hal ini, siswa akan belajar dengan perhatian yang sangat rendah dan pada tingkat yang sangat permukaan saja.
4. Retreatism (Menarik Diri): Tidak Punya Perhatian – Tidak Ada Komitmen
Siswa tidak tertarik sama sekali untuk mengerjakan tugas-tugas, tidak pula berminat memenuhi apa yang diharapkan sekolah darinya, tetapi siswa tidak berusaha untuk mengganggu teman-temannya yang sedang mengerjakan tugas, tidak pula ia melakukan kegiatan-kegiatan lain sebagai pengganti keengganannya mengerjakan tugas. Siswa “hanya” bersifat pasif, tidak berpartisipasi dalam kegiatan belajar, dan mempelajari sangat sedikit atau bahkan tidak mempelajari apa pun dari beragam tugas maupun kegiatan yang diberikan oleh guru.
5. Rebellion (Pembangkangan): Tidak Ada Perhatian – Tidak Ada Komitmen
Siswa menolak mengerjakan tugas-tugas, tidak mau menuntaskan pekerjaan, melakukan tindakan-tindakan mengganggu orang lain termasuk kawan-kawannya di kelas, atau melakukan hal-hal yang ia sukai (padahal seharusnya ia melakukan tugas lain). Ia melakukan apa yang disukai tersebut sebagai ganti kegiatan yang seharusnya.
Siswa mengembangkan perilaku yang buruk, sikap tercela dan tindakan-tindakan yang merugikan terhadap pendidikan formal, kegiatan belajar maupun tugas-tugas lain dari guru maupun sekolah secara keseluruhan.

Jika sebuah kelas berisi siswa yang sebagian besar, boleh jadi 75 atau 80 persen siswa yang memiliki keterlibatan penuh dalam kegiatan pembelajaran, kemudian sebagian berikutnya siswa yang berkepatuhan strategis, dan hanya sedikit sekali siswa dengan kepatuhan ritual serta hanya satu atau dua yang cenderung menarik diri, maka kelas semacam ini telah dapat dikatakan sebagai kelas yang sangat menggugah (The Highly Engaged Classroom). Ini merupakan kelas yang sangat bagus. Memang ada yang menarik diri atau mau mengerjakan tugas sekedar menghindari konsekuensi negatif, tetapi jumlahnya sangat sedikit.
Adapun yang disebut sebagai kelas yang dikelola dengan sangat baik (well managed classroom) adalah kelas yang komposisi siswa dengan keterlibatan tinggi maupun yang memiliki kepatuhan strategis, cukup mendominasi secara berimbang; masing-masing berkisar 40%. Selebihnya siswa yang mempunyai kepatuhan ritual serta yang menarik diri, jumlahnya berimbang, berkisar masing-masing 10%.
Yang mengerikan adalah kelas sakit yang bersifat patologis (The Pathological Classroom). Jumlah siswa yang memiliki kepatuhan strategis, kepatuhan ritual, menarik diri serta yang membangkang berimbang. Boleh jadi masing-masing sekitar 20-25 persen. Sementara siswa yang memiliki keterlibatan penuh dalam belajar jumlahnya sangat sedikit atau hampir tidak ada. Lebih parah lagi jika jumlah siswa yang membangkang maupun menarik diri lebih dominan. Ini merupakan mimpi yang sangat buruk.
Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku
Admin @emthorif
Foto Murid TK Tawakal Plemburan Sleman
Powered by Blogger.
close