Bermuara Pada Puncak Tanggung Jawab
Oleh
: Dr. Subhan Afifi, M.Si.
Shalat
Magrib berjama’ah telah usai. Seorang anak yang belum lama lulus SD masih duduk
terdiam di shof depan. Ayahnya datang menghampiri, mengajak pulang.Tinggal
mereka berdua saja di masjid yang memang jama’ahnya tidak terlalu ramai itu.
“Kenapa Nak ?” sapa sang ayah yang langsung merasa si anak sedang galau. Terlihat
dari matanya yang bergerimis. “Tadi bakso yang kita makan halal nggak ya?,” tanyanya. “Insya Allah
halal, masa’ kita makannya di
tempatnya yang nggak halal”, jawab
ayahnya tersenyum.“Aku sampe berdoa pada Allah abis shalat tadi, kalau memang baksonya nggak halal, biar dimuntahin saja,” kata si anak lirih.
Rupanya
si anak kepikiran dengan kehalalan
bakso yang mereka makan, karena melihat ada sticker
kecil toko non muslim tertempel bersama banyak sticker lain di warung bakso yang terkenal laris itu. Pikiran
polosnya menghubungkan sticker kecil itu dengan kehalalan bakso yang dimakan.“Tapi
setelah berdoa abis shalat tadi nggak muntah kan?” canda sang ayah
mengajaknya pulang, sambil diam-diam menyelipkan rasa syukur, anak sulungnya
itu sudah mulai mengenal arti tanggung jawab.
Tanggung jawab secara sederhana
bermakna keadaan wajib menanggung segala sesuatu sebagai konsekuensi dari suatu
tingkah laku atau perbuatan.Terdapat fungsi pembebanan atau kesiapan untuk
menanggung akibat dari sesuatu.
Penting
untuk mengenalkan tanggung jawab sejak dini kepada ananda tersayang. Tanggung jawab
paling puncak tentu saja adalah tanggung jawab pada Allah Ta’ala sebagai Rabb Semesta Alam dan satu-satunya sesembahan. Anak
dikenalkan sejak dini bahwa kita semua adalah mahluk Allah Ta’ala yang wajib taat pada seluruh aturan kehidupan yang telah
ditetapkan-Nya.
Rasululloh
Shollallahu ‘alaihi Wassalam mencontohkan
bagaimana beliau mendidik cucu tersayang agar bertanggung jawab, misalnya
terkait dengan apa yang dimakan.
Dari
Abu Huroiroh Rodhiallahu ‘anhu, ia
berkata: Hasan bin Ali Rodhiallahu
‘anhuma mengambil sebiji kurma dari kurma zakat, lalu ia memasukkan ke dalam
mulutnya. Rasulullah Shollallahu ‘alaihi
Wassalam bersabda: “Kih..Kih…! (keluarkanlah dan) buanglah kurma itu.
Tidakkah engkau mengetahui bahwa kita tidak boleh memakan barang zakat?” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Termasuk
bagaimana Rasul memerintahkan mendidik tanggung jawab terbesar untuk menegakkan
shalat sebagai ibadah yang paling menentukan.
“Perintahkanlah
anak-anak untuk mendirikan shalat ketika dia berumur tujuh tahun. Dan ketika
dia telah berumur sepuluh tahun, maka pukullah dia kalau meninggalkan shalat.
(HR Abu Daud)
Mendidik anak tentang
halal haram, boleh-tidak boleh, baik-buruk, pada dasarnya adalah mendidik
mereka untuk bertanggung jawab sebagai hamba Allah Ta’ala. Bahwa kehidupan ini dengan segala pernak-perniknya, kelak
akan dipertanggungjawabkan.
Tanggung
jawab puncak sebagai hamba Allah Ta’ala
akan mendasari aneka tanggung jawab turunan yang terkait dengan diri sendiri
dan keseharian. Ada kewajiban juga untuk membiasakannya.
Misalnya
bagaimana melatih kemandirian sejak dini, seperti membereskan mainan sendiri,
makan sendiri, mandi sendiri, dan seterusnya. Berikutnya, dilatih untuk merapikan
kamar tidur, menyiapkan perlengkapan sekolah, mencuci piring-gelas hingga pakaian
sendiri. Kemudian meningkat pada belajar untuk sensitif dan bertanggung jawab pada
lingkungan sekitar. Belajar menolong yang kesusahan, tak acuh pada sekeliling. Hingga
terbentuk jiwa untuk selalu ingin
berbuat baik dengan niat mencari ridho Allah Ta’ala.
Semua
proses mendidik tanggung jawab itu dilakukan dalam suasana menyenangkan, dan
tidak membebani di luar kemampuan. Memberikan kepercayaan penuh plus
penghargaan pada anak dengan balutan keteladanan dan gaya komunikasi bernuansa
motivatif, menjadi prinsip penting.
Mendidik
tanggung jawab sejak dini, berarti mempersiapkan lahirnya generasi yang bisa
dipercaya dan bisa diandalkan,sekaligus calon pemimpin di masa depan.
“Setiap
kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban
atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta
pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan
dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin di
dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai
pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah
pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
urusan tanggung jawabnya tersebut.” (HR. Al-Bukhari)
*) Dr. Subhan
Afifi, M.Si. Dosen Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Yogyakarta
Admin @emthorif
Post a Comment