Bertanggung Jawab dalam Mendidik


Oleh : R. Bagus Priyosembodo

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Demikianlah, seorang lelaki adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari: 2278).

Kepemimpinan itu bergandeng dengan tanggung jawab. Sesiapa yang berhasil dalam mempertanggungjawabkan amanah yang ia pikul maka ia berhak atas balasan kebaikan dan terpuji. Sesiapa yang tidak bisa maka ia gagal. Ia pantas mendapatkan hukuman dan celaan.

Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata,“Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.”(Tuhfah al Maudud hal. 123).

Wujud kesungguhan bertanggung jawab adalah melakukan upaya pendidikan yang baik. Keteledoran dalam usaha pendidikan ini akan mengantar kepada kegagalan. Adapun kesungguhannya akan membuahkan manis di dunia ini semasa hidup dan di akhirat kelak sesudah mati. Amal dan doa anak shalih mengalirkan tambahan ganjaran kebaikan kepada orangtuanya yang telah tidak bisa beramal.

Tanggung jawab pendidikan terbesar yang semestinya dilaksanakan oleh setiap mukminin adalah menghalangi anak dan keluarga dari celaka. “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At Tahrim: 6).

Seorang tabi’in, Qatadah, ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Yakni, hendaklah engkau memerintahkan mereka untuk berbuat taat kepada Allah dan melarang mereka dari berbuat durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menerapkan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan dan bantulah mereka untuk menjalankannya. Apabila engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, maka peringatkan dan cegahlah mereka.” (Tafsir al-Quran al-’Azhim 4/502).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.” (HR. Al Hakim: 7679).

Abu al-Hamid al-Ghazali rahimahullah memberi wejangan berharga, “Perlu diketahui bahwa metode untuk melatih/mendidik anak-anak termasuk urusan yang paling penting dan harus mendapat prioritas yang lebih dari urusan yang lainnya. Anak merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya dan qalbunya yang masih bersih merupakan permata yang sangat berharga dan murni yang belum dibentuk dan diukir. Dia menerima apa pun yang diukirkan padanya dan menyerap apa pun yang ditanamkan padanya. Jika dia dibiasakan dan dididik untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Dan setiap orang yang mendidiknya, baik itu orang tua maupun para pendidiknya yang lain akan turut memperoleh pahala sebagaimana sang anak memperoleh pahala atas amalan kebaikan yang dilakukannya. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa serta dosa yang diperbuatnya turut ditanggung oleh orang-orang yang berkewajiban mendidiknya” (Ihya Ulum al-Din 3/72).

Ibnu al-Qayyim rahimahullah, “Siapa saja yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya, lalu dia membiarkan begitu saja, berarti dia telah berbuat kesalahan yang fatal. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua mengabaikan mereka, serta tidak mengajarkan berbagai kewajiban dan ajaran agama. Orang tua yang menelantarkan anak-anaknya ketika mereka kecil telah membuat mereka tidak berfaedah bagi diri sendiri dan bagi orang tua ketika mereka telah dewasa. Ada orang tua yang mencela anaknya yang durjana, lalu anaknya berkata, “Ayah, engkau durjana kepadaku ketika kecil, maka aku pun durjana kepadamu setelah aku besar. Engkau menelantarkanku ketika kecil, maka aku pun menelantarkanmu ketika engkau tua renta.” (Tuhfah al-Maudud hal. 125).

*) R. Bagus Priyosembodo, Penulis Kajian Utama Majalah Fahma

Admin @emthorif
Powered by Blogger.
close