Tanggung Jawab Mendidik, Berlaku Seumur Hidup
Oleh : Galih
Setiawan
Di tengah
masyarakat seolah-olah terdapat “pembagian wilayah tugas” antara ayah dan ibu.
Ayah mencari nafkah, dan karena itu sebagian besar waktunya ia habiskan di luar
rumah. Sedangkan ibu, tugasnya mengurus segala kepentingan rumah tangga
termasuk di dalamnya mengurus anak.
Bila kondisinya
seperti itu, ayah lebih sibuk di luar rumah dan ibu diasumsikan punya banyak
waktu di dalam rumah, lantas bagaimana dengan tanggung jawab pendidikan anak?
Menjadi kewajiban ibukah? Ayahkah? Kalau berdua, bagaimana pula?
Pada dasarnya
tidak ada pembedaan di antara ayah dan ibu. Keduanya sama-sama mempunyai tugas
mendidik anak. Seorang ayah tentu memiliki tugas pendidikan anak, sesuai dengan
apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebab tidak ada ayah yang lebih baik daripada beliau.
“Rasulullah adalah seorang ayah, sekaligus murabbi, seorang pendidik. Sehingga,
tugas utama ayah adalah at-tarbiyah, mendidik anaknya.”
Sementara tugas
seorang ibu ternyata juga mendidik anak. Hanya bedanya tugas ayah menjadi lebih
berat karena dia memikul pula tugas-tugas lainnya di luar rumah, yaitu mencari
nafkah, serta berdakwah, misalnya. Dengan demikian, peran ibu dalam hal
pendidikan justru dapat dikatakan sebagai mitra bagi para ayah.
Bahkan, saat kita
mengacu pada teks-teks Al-Quran kita akan temukan beragam kisah yang
menceritakan bagaimana para ayah, dalam hal ini nabi dan orang-orang shalih,
mendidik anaknya. Contoh yang paling dikenal adalah kisah Luqman, seorang ayah,
laki-laki yang shalih, yang memberi pesan tauhid kepada anaknya. Ini tercatat
dalam surat Luqman, ayat 13 yang berbunyi, “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah
engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar” (QS Luqman (31): 13). Selain
kisah Luqman di atas, kita pun bisa mengetahui bagaimana Ibrahim mendidik
anaknya, Ismail, sehingga perintah yang diterima Ibrahim dari Tuhannya untuk
menyembelih Ismail kemudian bisa ditaati oleh putra tercintanya itu. Juga
terangkum dalam sejarah, Nabi Muhammad yang mengajarkan anak-anaknya, terutama
Fatimah, kecintaan kepada Allah, dan mendidiknya hingga tumbuh menjadi pribadi
yang kuat, cerdas dan sederhana.
Meski yang
sering disebut dalam Al-Quran itu adalah ayah, itu bukan berarti menafikan
peran seorang ibu. Dalam Al-Quran, ketika yang disebut itu laki-laki, maka bagi
perempuan itu sudah include di dalam instruksi tersebut. Jadi kalau
orangtua dalam Al-Quran digambarkan mendidik anak, dalam hal ini seorang ayah,
itu otomotis hal yang sama juga tertuju kepada ibu juga.
Tidak mungkin
Ismail bisa begitu cepat merespon panggilan Allah dengan mengatakan, “Wahai bapakku, lakukan apa yang
kau diperintahkan,” kalau dia tidak dididik oleh ibunya, Hajar.
Karena kalau ibunya bukan seorang pendidik, ia mungkin saja akan memprovokasi
anak,”Jangan mau, Nak,”
Jadi, dengan
tidak disebut secara langsung, tetap termaktub sebuah isyarat bahwa
Hajar—dengan makna luas adalah ibu, merupakan bagian dari sistem pendidikan
untuk anak-anak dalam sebuah keluarga yang dibinanya. Intinya antara ayah dan
ibu harus saling bekerjasama. Peran keduanya tidak bisa dilepaskan begitu saja
dalam pendidikan anak.
Begitu pula bila
urusan pendidikan anak diserahkan ke sekolah. Kewajiban mendidik anak, yang
utama jelas terletak pada kedua orangtua, ayah dan ibu. Bukan pada sekolah,
madrasah, pesantren atau lembaga pendidikan lainnya.
Ketika anak yang
diasuh dan dididik sedari kecil mencapai usia dewasanya, kemudian dia menikah,
orangtua merasa itulah saat di mana semua tanggung jawab dan kewajiban terhadap
anak yang selama ini dipikulnya selesai pula. Cukup sering kita mendengar
pernyataan yang dilontarkan orangtua saat anaknya melangkah ke pelaminan, “Alhamdulillah,
sudah selesai kewajiban saya, anak saya sudah berumahtangga.” Memang,
ketika anak menikah, gugur pula kewajiban orangtua terhadap anak, tapi itu
tidak seluruhnya. Kewajiban memberi nafkah selesai sampai di situ, tapi
kewajiban menasehati, memutaba’ah (memonitor), mendidik, mendakwahi,
memberikan tausiyah, itu terus, sampai seumur hidup. Jangankan sama anak, sama
orang lain pun kita wajib berdakwah.
Makanya, dalam
Islam, tidak ada kata berhenti untuk mendidik anak, sekalipun anak itu sudah menikah
dan berada dalam tanggung jawab orang lain.
*) Galih
Setiawan, Redaktur Majalah Fahma
Admin @emthorif
Post a Comment