Stress Pengasuhan : Kenali dan Atasi!


Oleh : Irwan Nuryana Kurniawan, M.Psi.

Sejak memiliki anak, apakah Anda merasa segala sesuatunya tidak bisa lagi ditangani dengan baik? Merasa terjebak dengan tanggung jawab Anda sebagai orangtua? Merasa tidak bisa lagi melakukan hal-hal yang baru dan berbeda, melakukan sesuatu yang sebenarnya Anda sangat ingin melakukannya? Sejak anak Anda beranjak remaja, apakah Anda mengalami kesulitan untuk membuatnya mau mendengarkan Anda? Merasa tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika dia melakukan sesuatu yang sangat mengganggu Anda? Merasa pasangan Anda tidak lagi percaya terhadap penilaian/keputusan Anda sebagai orangtua? Merasa pasangan Anda tidak lagi banyak memberikan bantuan dan dukungan sebanyak yang Anda harapkan?

Jika jawaban Anda adalah ‘ya’ pada semua pertanyaan di atas, apalagi dalam frekuensi sering dan selalu, berarti Anda mengalami gejala yang disebut oleh  stres pengasuhan. Paling tidak, itulah sebagian sampel-sampel perilaku yang dipakai oleh Richard R Abidin bersama kolega dalam Parenting Stress Index-Short Form (PSI-SF; Abidin,1990) dan Stress Index for Parents of Adolescents (SIPA; Sheras, Abidin, & Konold, 1998) untuk menentukan apakah orangtua mengalami stres pengasuhan atau tidak.

Stres pengasuhan kita alami atau muncul, menurut Goldstein (1995) karena harapan-harapan kita atas sumberdaya-sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengatasi “tuntutan-tuntutan” pengasuhan tidak cocok atau tidak sesuai dengan sumber daya yang tersedia, yakni  faktor fisik dan mental, misalnya rumah, tempat tinggal, pendapatan, pengetahuan, perasaan kompeten, dukungan emosi dan instrumental dari pihak lain (Deater-Deckard, 1996).

Deater-Deckard (2004) mengingatkan kita tentang dampak buruk dari stres pengasuhan. Stres pengasuhan berakibat pada memburuknya kualitas dan efektivitas perilaku pengasuhan.  Orangtua yang mengalami stres pengasuhan yang tinggi menunjukkan penurunan dalam ungkapan kehangatan dan kasih sayang kepada anak dan meningkatnya kecenderungan orangtua untuk menggunakan metode pendisiplinan anak yang “kasar”. Selain itu, stres pengasuhan juga berdampak semakin seringnya ungkapan “permusuhan” kepada anak, meningkatnya ketidakajegan perilaku pengasuhan orangtua, dan pada kasus tertentu berdampak pada orangtua menarik diri tidak mau sama sekali melakukan pengasuhan anak.

Memburuknya kualitas pengasuhan tersebut di atas—pada contoh yang ekstrim disebut sebagai kekerasan terhadap anak—dapat mengakibatkan sejumlah permasalahan-permasalah perilaku dan emosi anak seperti agresi, suka melanggar aturan, cemas, dan kesedihan yang bersifat kronis. Bahkan Sroufe, Cooper dan DeHart (1996) mencatat dampak buruk kekerasan terhadap anak ini bersifat menetap dan pada saat memasuki masa dewasa dan menjadi orangtua, mereka menjadi  orangtua agresif dan cenderung memiliki problem-problem pengasuhan. Simons, Whitbeck, Conger, dan Wu (1991) menyebutnya sebagai intergenerational transmission of harsh parenting practices, artinya ketika para orangtua dari satu generasi mempraktikkan kekerasan dalam pengasuhannya, anak-anak mereka juga cenderung melakukan kekerasan dalam pengasuhan ketika mereka menjadi orangtua.

Sebagaimana kesuksesan dunia dan akhirat kuncinya ada pada ilmu (HR Tirmidzi), maka kunci utama untuk mengatasi stres pengasuhan adalah berilmu, terutama ilmu agama, dan pendidikan anak dalam Islam. Dengan berilmu, kita bisa mengambil hikmah-pelajaran (QS Al Baqarah [2]:269; QS Ali ‘Imran [3]:7), mencegah kita untuk tidak mengikuti segala sesuatu yang kita tidak memiliki pengetahuan tentangnya (QS Al Isra’a [17] : 36), mencegah kita dari melakukan segala sesuatu yang melampau batas sekaligus menyesatkan orang lain (QS Al An‘am [6]:119, 144).

Dengan berilmu kita akan mengembangkan visi-misi pengasuhan yang paling tepat dan paling dikehendaki oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, sebagaimana doa-doa yang diilustrasikan, dicontohkan, dan diabadikan dalam Al Quran secara detail dan eksplisit (sebagai contoh, QS Al Furqon [25]:74; QS Maryam [19]: 5-6; QS Ali ‘Imran [3]:38). Dengan berilmu, maka akan mencegah orangtua dari mengembangkan harapan-harapan yang tidak realistis terhadap anak-anaknya, yang pada akhirnya dapat membuat orangtua rentan mengalami stres pengasuhan. Tentu saja, selaku orangtua kita juga perlu terus menerus belajar memperbaiki diri, termasuk keterampilan pengasuhan yang akan sangat berguna dalam mewujudkan visi misi pengasuhan. Ketersediaan sumberdaya ilmu dan keterampilan memungkinkan kita insya Allah mampu menjawab tuntutan dan tantangan yang mungkin muncul ketika sedang mengemban amanah pengasuhan anak, sehingga terhindar dari stress pengasuhan.

Irwan Nuryana Kurniawan, M.Psi. Pemimpin Redaksi Majalah Fahma | Dosen Psikologi Universitas Islam Indonesia

Admin @emthorif
foto https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhIVSmIGzG4Xo3SpEjTKVBLdOvfliLnzeCFbIZ0TOjo3quvtnh4PzE03AbLhihdjiZnvMZZ-3BE6rY4JvPZCMsw3_V7ouDz-bYr_vTHGq9L-t5yya-J_7IfiRG3YtCnIYrWUa1kyG-UB8/s1600/ayah+dan+anak.jpg
Powered by Blogger.
close