Kolom Prof In : “Saya Masak Sendiri, Pak”
Oleh: Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A.
“Permisi pak, apakah
bapak bersedia memberi surat rekomendasi untuk saya ?”.
“Akan dipakai untuk
apa?”.
“Untuk memenuhi
salah satu syarat pengajuan beasiswa pak”.
“Baik, kalau
begitu tolong berikan ke saya transkrip nilai dan kurikulum vitae saudara”.
Percakapan
tersebut mengawali komunikasi saya dengan seorang mahasiswa yang mencegat saya
saat akan keluar dari gedung perkuliahan. Memang saat itu sedang ada tawaran beasiswa
dari sebuah yayasan milik perusahaan nasional yang bergerak di bidang agro
industri. Syarat pokok untuk pengajuannya adalah indeks prestasi minimal tiga
koma sekian.
Selain
transkrip dan surat pengalaman, saya masih perlu mewawancari dia untuk mendapatkan tambahan informasi. Saya tanyakan latar
belakang keluarganya yang tinggal di kota lain, dan juga kehidupan dia selama di
Yogya. Ternyata pekerjaan salah satu orangtuanya adalah pendidik.
Yang menarik dalam
kehidupan sehari-hari dari mahasiswa tersebut adalah, terutama kebutuhan makan,
dia tidak makan seperti kebanyakan teman-temannya di warung-warung. Namun, juga
tidak ikut makan bersama ibu kos, dia masak sendiri. Saya tertarik dengan
pengakuan tersebut. Karena selama ini, setiap saya bertanya kepada mahasiswa
yang saya kenal, baik bimbingan akademik, skripsi maupun yang lain, jawaban
mereka hampir selalu sama, makan di luar. Ketika saya tanya mengapa tidak masak
sendiri, ada yang menjawab karena di tempat kos tidak ada dapur, tidak bisa
memasak, terlalu ribet atau tidak ada waktu.
Sebenarnya
makan di luar, terutama di warung-warung kaki lima pinggir jalan, dapat
berkibat buruk bagi kesehatan. Dalam proses pencucian peralatan yang kotor,
seperti piring, gelas, sendok, jarang sekali mereka menggunakan air yang
mengalir. Sehingga bakteri, virus atau sumber-sumber penyakit yang lain, yang
berasal dari orang-orang yang makan sebelumnya, masih bisa menempel di
peralatan yang dicuci. Mungkin ini penyebab beberapa waktu
yang lalu banyak mahasiswa yang diopname di rumah sakit karena tertular
penyakit hepatitis dan tipes. Bahkan pernah dalam sebuah recruitment lulusan baru,
hampir setengah pesertanya gagal di tes kesehatan, padahal mereka sudah lolos
dari beberapa tahap seleksi sebelumnya.
Selain tingkat
kebersihan yang rendah, juga minyak goreng yang dipakai sering sudah berwarna
hitam karena telah dipakai terus menerus pada temperatur tinggi, yang
betul-betul sudah sangat tidak sehat. Hal ini memungkinkan minyak
tersebut mengandung karsinogen yang memacu timbulnya sel kanker.
Jadi ketika saya
mendengar bahwa mahasiswa tadi sehari-harinya masak sendiri, saya langsung
berkomentar “Bagus, kebiasaan yang sangat baik dan bermanfaat”. Sesuai
pengalamannya, biaya yang dikeluarkan untuk makan selama sebulan bisa dihemat hampir
setengahnya, apalagi kalau dapat kiriman rendang dari orangtuanya.
Dia juga termasuk
yang “setia” terhadap masakannya. Ketika dia diajak temannya untuk makan di
luar, demi kebersamaan dia tidak menolak, namun dia hanya pesan minuman.
Siapapun yang mendengar hal ini, pasti akan mengajukan pertanyaan ”Mengapa
tidak ikut makan?”, dan jawabannya juga cukup menarik. “Karena kalau saya makan
di luar, masakan yang sudah saya siapkan di kos tidak termakan, dan kesokannya bisa
basi, kasihan”. Hebat, dia konsisten dengan apa yang sudah dia putuskan.
Sebetulnya, secara
tidak langsung dia telah melatih dirinya untuk melakukan hal-hal penting lainnya
di samping belajar. Dia akan terbiasa dengan situasi, di mana pada
saat yang sama dia harus menyelesaikan banyak hal, dia akan terbiasa kerja
paralel. Untuk itu, dia harus pandai mengatur waktu kapan
dia harus belajar, mengerjakan tugas kuliah, belanja kebutuhan makan, memasak,
mencuci piring, ikut kegiatan kemahasiswaan, dan sebagainya. Belum termasuk
kegiatan sosial di masyarakat yang kebetulan dia aktif juga.
Kebiasaan ini
akan bermanfaat nantinya setelah dia bekerja. Begitu diterima kerja di
industri, dia sudah mempunyai pengalaman kerja paralel, sedangkan pelamar yang
lain sebagai kompetitor belum siap. Kalau diibaratkan sebuah lomba balap mobil,
dia sudah berhasil mencuri start tanpa
mengalami diskualifikasi. Wallahu a’lam bishawab.
Penulis: Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A., Guru Besar UGM | Pimpinan Umum Majalah
Fahma
Admin: Mahmud Thorif
Post a Comment