Makanan yang Kita Makan, Kemana Diniatkan?


Oleh: Imam Nawawi
Makan, nyaris pekerjaan yang selalu kita butuhkan setiap hari. Setiap kali saya ke kantor bersama kolega saya, di satu belokan daerah Pasar Minggu ada kedai bubur ayam, yang setiap paginya selalu ada orang yang makan, kadang 4, 3, 2 orang, laki-laki dan perempuan.
“Makan lagi, ya Allah manusia setiap pagi, ya makan lagi,” begitu ucapku kepada kolega sembari berpikir mengapa manusia selalu makan dengan diiringi tawa kecil untuk kemudian melupakannya.
Tetapi ada yang menarik, yang Allah nyatakan dalam Al-Quran.
“Dan mereka berkata: “Mengapa rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?” (QS. Al-Furqaan [25]: 7).
Demikianlah sikap manusia yang tidak mengenal Rabbnya, kadang karena makan rela melakukan apa saja. Siang-malam tak jadi halangan, panas-hujan juga bukan rintangan, asalkan bisa makan. Sementara, mereka yang berkerah putih lengkap dengan dasi rela korupsi, demi apa? ya demi makanan.
Giliran dihadapkan dengan penyeru kebenaran, mereka merendahkan utusan Allah itu hanya karena Nabi dan Rasul itu juga makan sebagaimana mereka makan. Nah, bingung kan?
Prinsipnya gak usah dech merasa hebat hanya karena diri makan di restoran, makan rame-rame di rumah makan terkenal, apa juga hebatnya, wong itu cuma makan. Iya kalau halal, kalau nggak?!!!
Jangan merasa tinggi derajat hanya karena makan makanan orang Eropa, orang Arab, orang Afrika, atau malah makan makanan orang Indonesia sendiri. Biasa sajalah, yang mesti didahulukan adalah rasa syukur kepada Allah yang telah memberi makan kita.
Lebih dari itu, kita harus ingat bahwa Allah memerintahkan kita untuk makan yang baik-baik saja.
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mu’minun [23]: 51).
Jadi, mari niatkan makan kita untuk bisa ibadah dan beramal sholeh. Dalam hal ini kita bisa mengambil hikmah dari kisah seorang Abdurrahman bin Al Aswad.
Hafsh bin Ghiyats menyampaikan,”Abdurrahman bin Al Aswad, tidak makan roti kecualai dengan niat.”
Ishaq bin Khalaf menyampaikan, ketika ditanya mengenai niat Abdurrahman ketika makan roti, “ia pada awalnya makan, namun ketika berat melaksanakan shalat maka ia mengurangi makannya agar semangat mengerjakan shalat. Namun apabila ia mengurangi makan maka ia lemah, sehingga ia memilih makan untuk menguatkan badannya. Maka, makannya dan berhentinya semuanya dalam rangka shalat” (Bustan Al Arifin, hal. 18).

Subhanalloh, demikiannya beliau menyikapi makanan. Bagaimana dengan kita? Apakah sudah merasa cukup sebatas membaca doa sebelum dan sesudah makan?*
Imam Nawawi, Pemimpin Redaksi Majalah Mulia, twitter @abuilmia
Powered by Blogger.
close