Mendidik dengan Profesional
Oleh:
Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A.
“Aku
tidak mau sekolah! Pokoknya nggak mau, pokoknya nggak sekolah.” Dua kalimat ini
mengawali cerita seorang ibu muda, teman istri yang kebetulan silaturahmi ke
rumah, menyampaikan pengalamannya ketika putrinya yang duduk di sekolah dasar
mengalami stres.
Ibu
tadi sempat bingung ketika suatu hari, saat membangunkan anaknya untuk
persiapan ke sekolah, dia tidak mau beranjak dari tempat tidur, dan bahkan
tidak mau sekolah. Bagaimana tidak bingung, karena selama ini anaknya termasuk
penurut saat pagi hari akan berangkat sekolah. Akhirnya setelah dirayu, putrinya
mau berangkat juga meskipun dengan wajah tegang. Ibunya bersyukur ketika keesokan
harinya peristiwa itu tidak terulang.
Namun,
selisih dua hari berikutnya, peristiwa itu terjadi lagi dan bahkan ditambah badannya
demam, kepalanya pusing dan muntah-muntah. Perilaku ini terjadi beberapa kali.
Sebagai orangtua yang masih muda, mereka tidak tahu pasti apa penyebabnya. Atas
kesepakatan dengan sang suami, ibu tadi membawa putrinya ke seorang psikolog,
untuk mengetahui sebenarnya apa yang terjadi dengan anaknya.
Sang
ibu diberi penjelasan tentang beberapa penyebabnya, dan ada kemungkinan
putrinya mengalami stres.Selain itu, ibunya
juga diminta datang ke sekolah, dan putrinya dibawa ke seorang dokter spesialis,
untuk mengetahui apakah persoalan itu terjadi karena masalah psikis atau fisik.
Sang ibu diminta ke sekolah untuk mencari tahu, apakah telah terjadi suatu
perubahan di kelasnya, karena sebelumnya si anak tidak mengalami hal itu.
Dengan
sangat hati-hati ibu tadi mencari informasi ke sekolah, sebetulnya apa yang
terjadi. Dan betul,
telah ada pergantian guru mata pelajaran di sekolah. Guru
yang lama pindah ke luar kota dan digantikan dengan guru yang lain. Ternyata
ada juga temannya yang mengalami hal
yang sama, meskipun lebih ringan.
Guru
pengganti itu mengampu mata pelajaran yang banyak hafalannya. Sedangkan si anak,
memang termasuk yang tidak senang pelajaran yang banyak hafalannya. Dia
sangat senang pelajaran berhitung.Selain itu, ternyata guru tadi juga menerapkan
sistem hukuman. Ketika seorang anak tidak bisa mengungkapkan hafalannya dengan
baik, si anak mendapatkan hukuman tambahan hafalan, sehingga semakin banyak beban
hafalannya, dan mungkin inilah yang menyebabkan anak mengalami stres.Terlepas
dari senang atau tidaksenangnya anak terhadap pelajaran-pelajaran tertentu, namun
kenyataannya pada saat pelajaran itu masih dipegang oleh guru yang lama,tidak
ada anak yang mengalami stres.
Atas
saran psikolognya juga, si ibu diminta membawa anaknya ke seorang dokter
spesialis anak, dia menyebut sebuah nama,dokter senior. Kata para
orangtua, terutama ibu-ibu yang anaknya sudah menjadi pasiennya, pak dokteritu selalu
membatasi jumlah pasien sehingga mereka mempunyai cukup waktu untuk berdiskusi.
Apa
yang ibu dengar tentang dokter itu,telah dilihatnya sendiri ketika datang
pertama kali. Ibu itu sangat
terkesan dengan cara dokter, yang
dengan profesional menangani permasalahan anaknya. Setiap kali ibu
dan anaknya datang ke dokter, yang disapa terlebih dahulu adalah si anak. Dia
diajak ngobrol dengan santainya, si anak merasa seakan sedang ngobrol dengan
temannya sekelas, bukan dengan pak dokter yang sering ditakuti anak. Untuk membesarkan
hati, dokter mengatakan pada si anak, bahwa anak itu hebat sekali, pandai
menghafal, padahal perawat-perawat yang di ruang itu, yang seusia ibunya, mereka
tidak bisa menghafal. Dengan perlakuan dari sang dokter yang selalu memotivasi,
akhirnya mulai timbul kepercayaan diri pada si anak.Dia mulai punya kebiasaan,
menjelang pulang minta tanda tangan pak dokter di bukunya, yang kemudian dengan
“pe-de”nya dibawa ke sekolah. Bahkan setiap jadwal ke dokter, yang mengingatkan
justru anaknya. Pernah suatu saat ibunya tidak tahu kalau dokternya di hari itu
tidak praktek karena ke luar kota, yang tahu justru putrinya.
Seandainya
guru pengganti itu mampu bersikap lebih profesional, maka anak-anak di kelas
itu pasti akan selalu merindukan gurunya sebelum ketemu di esok harinya. Sudahkah kita sebagai pendidik bersikap seperti pak dokter itu?
Wallahu a’lam Bish-shawab.
Penulis:
Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A., Guru Besar Universitas Gajah Mada, Pimpinan
Umum Majalah Fahma
Foto: goole
Post a Comment