Pendidik dan Komunikasi Empatik
Oleh : Dr Subhan Afifi, M.Si.
Awalnya, tak adanya yang istimewa dengan Erin
Gruwell. Seorang guru yang ingin mendedikasikan hidupnya untuk mendidik. Hingga
suatu saat Ia merasa tertantang karena ditempatkan di sebuah kelas yang
dianggap “bodoh” karena berisi siswa-siswa bermasalah. Murid-muridnya adalah
kumpulan anak yang sangat nakal, bahkan cenderung kriminal. Erin Gruwell tak
menyerah. Ia mulai menangani dengan cinta, bukan dengan prasangka.
Di kelas, Gruwell lebih menempatkan dirinya
sebagai bagian dari murid-muridnya. Apa yang dialami siswa-siswinya adalah
bagian dari masalahnya sendiri. Setelah berhasil meraih hati mereka, Ibu guru
itu memberikan murid-muridnya bacaan-bacaan bergizi, seperti biografi para
tokoh yang memberi inspirasi. Tak lupa setiap anak diminta membuat buku harian.
Mereka diminta menulis kisah hidupnya, apa saja, secara bebas. Ajaib, setelah
beberapa waktu, murid-murid nakal itupun ber-evolusi menjadi lebih baik. Kisah
inspiratif itu kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul ”Freedom Writers”.
Apa yang dikedepankan Erin Gruwell mirip
dengan penggalan hidup Ibu Muslimah dengan 10 murid miskin ”Laskar
Pelangi”-nya. Ia berhasil menanamkan sikap hidup di benak murid-muridnya :
Keterbatasan tak harus jadi alasan untuk takut punya cita-cita. Walaupun
murid-murid yang dihadapi berbeda, –Erin dengan siswa-siswa nakal nan
bermasalah, Muslimah dengan murid-murid miskin tapi punya mimpi besar—keduanya
sama-sama mengedepankan empati dalam mendidik.
Empati sering diartikan sebagai keadaan mental
yang membuat seseorang mengidentifikasi atau merasa dirinya dalam keadaan
perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Empati juga
dimaknakan sebagai kegiatan berpikir individu mengenai “rasa” yang dia hasilkan
ketika berhubungan dengan orang lain. Kemampuan seseorang untuk mengenali,
mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain adalah bentuk dari empati.
Sifat inilah yang seharusnya mendominasi pendidik
dalam kiprahnya. Pendidik, tentu saja termasuk orangtua dan guru, yang
berempati memiliki kemampuan menyelami perasaan anak dan siswanya. Orangtua dan
guru harus mampu mengenali dan merasakan kondisi siswa sehingga menjadi bagian
dari persoalan, bukan menjadi pengamat berdiri di tempat yang jauh.
Selanjutnya, empati perlu dipadukan dengan
keterampilan seorang pendidik yang tidak kalah pentingnya : komunikasi.
Sebagian besar waktu yang dihabiskan seorang guru di sekolah, bahkan dalam
hidupnya secara keseluruhan adalah untuk berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi
secara efektif mutlak diperlukan pendidik. Bukankah esensi pendidikan adalah
mengkomunikasikan pengetahuan dan nilai-nilai? Komunikasi efektif di antaranya
dibangun oleh penghargaan (respect),
kejelasan (clarity) dan sikap rendah
hati (humble). Penghargaan akan
membangkitkan antusiasme. Kejelasan berarti keterbukaan, tak ada kesalahan
interpretasi. Sikap rendah hati yang akan memunculkan komitmen melayani dan
tidak memandang rendah.
Dari kata empati dan komunikasi itulah kita
mengenal istilah Komunikasi Empatik (emphatetic
communication). Komunikasi jenis ini adalah komunikasi yang serius, penuh
perhatian, bukan komunikasi yang mengabaikan. Komunikasi empatik dilakukan
dengan terlebih dahulu menempatkan diri pada situasi atau kondisi yang dihadapi
oleh orang lain. Mampu untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum
didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Rasa empati dengan sendirinya akan
menghasilkan strategi komunikasi (cara menyampaikan pesan, dan memilih media
yang digunakan) efektif. Termasuk memberikan respons yang tepat, memberi
penghargaan, dan siap mendengar.
Seorang guru yang tak mencoba berempati
terhadap persoalan yang dihadapi siswanya, sulit membangun komunikasi yang
efektif, karena halangan psikologis atau penolakan akan lebih banyak muncul.
Menempatkan diri sebagai satu pihak di sisi sebelah sini, dan para siswa di
sisi sebelah sana, jelas akan menyulitkan komunikasi.
Guru yang empatik akan menerima siswa apa
adanya, mencoba untuk mencari potensi dan kelebihan, karena semua anak pada
dasarnya cerdas dan berbakat. Kejelasan visi sang guru akan menjalar melalui
komunikasi yang tepat pada siswa untuk memperjelas arah hidup. Dalam
kesehariannya, guru seperti ini akan memberi dukungan, bukan sibuk mencari
kelemahan. Kehangatan komunikasi sang guru dirasakan para siswa yang merasa
terayomi. Suasana batinnyapun akan terpancar dari karisma, karena doa cinta
sang guru seolah langsung terasa. Inilah ciri guru yang akan menjadi inspirasi
kehidupan, tidak hanya bagi siswanya, tapi juga untuk dunia. Wallahu’alam.
Penulis: Dr Subhan Afifi, M.Si., Kaprodi Ilmu Komunikasi, FISIP UPN Veteran Yogyakarta
Admin: @emthorif
Post a Comment