Puasa, Masih Mau Marah pada Anak?
Oleh : Imam
Nawawi
Dalam bulan Ramadhan, umat Islam banyak
yang mampu menahan lapar dan dahaga dengan baik, namun tidak dengan emosi.
Sebagian besar masih saja kesulitan menata diri dan keluarga, tidak terkecuali
dalam menata pola komunikasi dengan anak.
Merasa diri sudah lelah, payah dan masih
banyak hal yang mesti diselesaikan, kemudian anak-anak masih saja bandel,
sebagian orangtua kadang langsung marah-marah, seolah lupa bahwa dirinya sedang
berpuasa.
Kondisi ini tentu tidak patut untuk
dilakukan. Setidaknya ada dua dampak buruk yang langsung ditimbulkan. Pertama,
anak beranggapan bahwa sekalipun sedang berpuasa, marah-marah itu boleh dan
bisa diijadikan penyelesai masalah. "Buktinya, orangtuaku marah,"
begitu mungkin anak bergumam.
Kedua, marah atau pun marah-marah akan
mengurangi kemantapan hati dalam menjalani puasa. Pada akhirnya,
jiwa dikuasai perasaan kesal, sehingga segala yang dilakukan kehilangan makna.
Kehilangan makna inilah yang kemudian
bisa kita gali dari apa yang Rasulullah pesankan kepada umatnya,”Jika salah seorang di antara kalian
melaksanakan ibadah puasa, maka janganlah ia mengucapkan perkataan kotor dan
jangan berteriak-teriak. Jika ia dicaci oleh orang atau hendak diajak
berkelahi, maka hendaknya ia mengatakan ‘Aku sedang puasa” (HR. Bukhari
Muslim).
Jangan berteriak-teriak, artinya jauhi
marah, terutama saat sedang berpuasa. Dalam tinjauan medis disebutkan bahwa
menjauhi marah atau menahan diri dari marah adalah cara ampuh untuk menjauhkan
tubuh manusia dari berbagai serangan penyakit, yang pada umumnya dikarenakan
amarah yang tak terkendali.
Oleh karena itu, firman Allah pada Surah Ali Imran ayat 134
yang menjelaskan tentang kriteria takwa memerintahkan kita agar sebisa mungkin
menahan amarah dan memaafkan (kesalahan) orang.
Jadi, kalau kemudian goal akhir
dari puasa ini menjadi insan takwa, maka operasional takwa yang termaktub dalam
bentuk kriterianya tersebut harus dijalankan
dari kehidupan sehari-hari di dalam rumah kita sendiri. Termasuk kala berinteraksi
dengan anak. Sebab, mereka yang akan meniru semua yang kita lakukan untuk
kemudian menjadi karakter dan kepribadian mereka kelak dalam kehidupan.
Mengapa seseorang
marah, tentu beragam jawabannya. Tetapi, bagaimanapun Islam memandang marah sebagai
kerugian.
"Marah itu
dari setan. Setan diciptakan dari api. Api bisa dipadamkan dengan air. Karena
itu, apabila ada yang marah, hendaknya ia berwudhu" (HR. Ahmad dan Abu
Dawud).
Secara harfiah, dapat dipahami bahwa
wudhu merupakan solusi untuk setiap muslim
yang tak mampu menguasai diri, sehingga dikendalikan amarah. Hal ini
menunjukkan bahwa siapa menjaga wudhu, insya Allah, terhindar dari penguasaan
marah terhadap diri seorang muslim.
Selain itu,
secara substantif, wudhu menjaga seseorang dalam keadaan tetap suci dan bersih,
sehingga erat kaitannya dengan kesehatan jiwa-raga.
Dr. Magomedov,
peneliti pada lembaga General Hygiene and
Ecology di Daghestan State Medical
Academy memaparkan bahwa wudhu dapat menstimulasi irama tubuh secara alami.
Selain itu, wudhu juga dapat mencegah masuknya bibit penyakit.
Oleh karena itu,
penting bagi setiap muslim menyempurnakan wudhu, syukur-syukur bisa
ditradisikan. Kalau pun belum mampu, setidaknya kita ingat bahwa kalau hendak
marah atau sedang marah, bersegera untuk berwudhu. Apalagi di bulan Ramadhan,
di mana segala sifat negatif, sudah seharusnya kita jauhi, sekalipun terhadap
anak kita sendiri.
Terakhir, ada
beberapa sahabat menemui Rasulullah dan meminta nasehatnya, namun semuanya
diberi nasehat yang sama, yakni; jangan marah, jangan marah, jangan marah. Ibn
Umar bertanya kepada Rasulullah, "Apa yang bisa menjauhkan saya dari murka
Allah yang Maha Suci?” Rasulullah menjawab, "Jangan marah." Lantas,
masihkah kita akan marah kepada anak kita meski dalam keadaan berpuasa? Wallahu
a’lam.
Foto: http://www.samishare.com/wp-content/uploads/2014/12/Anak-Kecil-Tersenyum-Manis.png
Post a Comment