Antara Keinginan dan Kebutuhan




Oleh : Mahmud Thorif

Ada beberapa orangtua yang ingin membahagiakan anak-anaknya sehingga terlalu memanjakan mereka. Anak menginginkan ini diberi, anak menginginkan itu diberi. Pokoknya ia tidak rela melihat anaknya bercucur air mata hanya karena tidak mendapati yang diingini. Ia tidak rela jika anaknya harus susah payah mendapatkan sesuatu yang ingin dimiliki.

Tidak sedikit pula suami istri yang tidak sepaham dalam membahagiakan anak-anak. Yang satu berprinsip bahwa menuruti seluruh permintaan anak-anak adalah wujud dari membahagiakan mereka. Sedangkan yang satunya berprinsip setiap permintaan anak tidak harus dituruti.

Nah, tentu jika kedua orangtua berbeda prinsip dalam mendidik anak-anak mereka, mereka akan menjadi anak yang tumbuh dalam kebingungan, besar dalam kebimbangan. Karena anak-anak mendapati orangtua yang berbeda prinsip.

Penulis tidak akan membahas lebih detail tentang perbedaan prinsip orangtua dalam mendidik anak-anak mereka. Penulis akan lebih fokus bahwa terkadang sebagai orangtua kita lebih sering membelikan anak-anak kita sesuatu yang seharusnya tidak dibutuhkan mereka.

Kita lihat dari hal yang paling sederhana saja, misalnya daam hal membelikan mainan. Sudah berapa lusin alat permainan yang sudah kita beli untuk anak-anak kita? Sesekali coba kita kumpulkan alat permainan anak-anak kita. Alasan orangtua memang bermacam ketika membelikan mainan kepada mereka, ada yang karena mainannya rusak, ada yang karena anak sudah bosan, dan lain sebagainya.

Tentu membeli alat-alat permainan anak, jika itu tidak berlebihan tidaklah mengapa. Tapi yang sering kita dapati adalah segunung alat permainan anak yang terus dan terus kita beli, sehingga sebenarnya banyak alat permainan lama yang bisa dipakai tetapi karena ada yang baru anak-anak enggan menyentuh apalagi memainkannya.

Jika hal ini dilakukan terus menerus, secara tidak sadar orangtua mengajarkan kepada anak berbuat boros. Di mana mereka membeli sesuatu yang sejatinya tidak terlalu dibutuhkan oleh anak-anak.

Karena pada prinsipnya, satu rupiah yang dikeluarkan jika itu untuk sebuah kesia-siaan atau lebih jauh utk kemaksiatan adalah pemborosan. Tapi lebih dari satu rupiah pun jika itu untuk sesuatu yang dibutuhkan atau untuk kebaikan bukanlah perbuatan boros.

Jika sikap kita terhadap harta ini boros, maka akan menghasilkan sesuatu yang mubadzir, sesuatu yang sia-sia. Hanya memenuhi keinginan nafsu saja, bukan kebutuhannya. Padahal dalam isi kepalanya ada banyak sekali keinginan yang melebihi kebutuhan.

"Sungguh mubazir itu adalah teman dari syetan" begitu Al Quran menggambarkannya.
Kita baru saja digembleng oleh Allah melalui tarbiyah Ramadhan. Seama Ramadhan, kita digembleng untuk dapat menahan hawa nafsu. Maka sudah seharusnya setelah Ramadhan, kita harus mampu menampakkan hasil dari tarbiyah tersebut. Jangan sampai tarbiyah Ramadhan yang telah kita jalani sama sekali tidak berbekas.

Nah, salah satu hasil yang semestinya terlihat dari tarbiyah Ramadhan adalah tidak berbuat mubadzir. Orangtua bisa mencoba mengajak anak-anak untuk berpikir tentang kemubadziran. Dialog dan diskusi dengan mereka bagaimana sebaiknya harta yang dipunyai digunakan. Misalnya saat hari raya. Anak meminta baju baru, padahal baju yang ada masih layak pakai dan masih bagus. Kita bisa ajak anak berdialog tentang ‘nasib’ baju-baju lama yang tidak terpakai tersebut.

Sesekali ajak mereka ke tempat-tempat anak yang kurang beruntung, anak-anak yang tidak pernah mendapatkan banyak fasilitas kemudahan. Anak-anak yang kalau menginginkan sesuatu harus kerja keras dahulu. Harus mencari dengan susah payah. Ajak anak-anak itu bercengkrama dengan mereka. Insya Allah jika sering dilakukan akan mengajarkan kepada anak-anak bagaimana ia memperlakukan harta dengan bijak.

Beri motivasi mereka untuk memberikan bantuan akan barang-barang yang dimiliki, harta yang bukan sekadar dinikmati sendiri namun bisa ia bagi kepada yang membutuhkan. Ajak mereka untuk berpikir, apakah yang ia beli itu sesuatu yang diinginkan atau sesuatu yang dibutuhkan? Wallahu a'lam.

Penulis : Mahmud Thorif, Redaktur Majalah Fahma
Foto : google
Powered by Blogger.
close