Kasih Sayang Allah


Oleh : Imam Nawawi

Berpikir mendalam memang sebuah keharusan yang menjadi bagian hidup dari manusia. Sebab, Allah Ta’ala tidak saja sayang kepada manusia dengan memberikan kepercayaan mengelola alam semesta. Tetapi jauh lebih dari sekedar memberikan amanah, juga memberikan petunjuk.

Terhadap mereka, entah itu kaum, suku atau bangsa yang belum mengenal ajaran Islam, Allah akan kirimkan utusan-utusan-Nya agar mereka yang dalam kesesatan mendapatkan hidayah. Bahkan, utusan Allah itu adalah bagian dari kaum itu sendiri. Dan, itu adalah sunnatullah yang telah berlaku sejak pertama kali manusia diturunkan ke muka bumi.

“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada (kaum) Tsamud saudara mereka yaitu Sholeh (yang menyeru) “Sembahlah Allah!” Tetapi tiba-tiba mereka (menjadi) dua golongan yang bermusuhan” (QS. An-Naml [27]: 45).

Jadi, tahap selanjutnya ada golongan haq dan ada golongan bathil. Sekarang mari kita perhatikan bagaimana mereka yang tidak memahami kasih sayang Allah kepada dirinya membuat-buat dalih pembenaran yang jauh dari nalar rasional.

Kaum Tsamud misalnya, mereka berkata, “Kami mendapat nasib yang malang disebabkan kamu dan orang-orang yang bersamamu” (QS. An-Naml [27]: 47).

Dalam bentuk bahasa modern, orang-orang yang tidak mengenal kasih sayang Allah mengatakan, “Islam sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.” Atau “Kalau mau maju ya jangan berpikir seperti Nabi terus, kita pasti kalah,” dan masih banyak yang lainnya. Jadi muncul suatu kesimpulan kalau mengikuti Nabi itu pasti merugi alias malang nasibnya.

Tidak puas dengan membantah, kaum Tsamud terus melangkah ke tahap lebih serius, yakni membuat makar. Ingin membunuh dan menghancurkan dakwah. Tetapi, justru makar itulah tahap akhir yang Allah berikan kepada mereka, sebelum kemudian kala mereka menjalankan makarnya, Allah hadang dengan makar-Nya pula.

Sedangkan kaum Nabi Luth terhadap peringatan kebenaran (yang haq) mereka berkata, “Usirlah Luth dan keluarganya dari negerimu, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang menganggap (dirinya) suci” (QS. An-Naml [27]: 56).

Jadi, waspadalah terhadap diri sendiri. Jangan sampai terbetik dalam diri apalagi sampai ingin mengucapkan perkataan buruk terhadap orang yang memberikan nasehat kebenaran kepada kita. “Alah kamu gak usah sok suci.”

Sungguh kalimat tersebut adalah kalimat buruk dari hati yang menolak kebenaran yang menjadi sebab kaum Nabi Luth layak disiksa dengan adzab yang amat pedih.

Dan, kita jangan pernah lupa bahwa pengidap penyakit kaum Nabi Luth ini benar-benar jahat. Pada umumnya, mereka menjadikan anak-anak tak berdaya sebagai objek pemuas nafsunya (itu yang belakangan marak terjadi di negeri ini). Dan, terhadap perilaku seperti itu mereka mengatakan diri mereka memang diciptakan Tuhan seperti itu (given). Kemudian, apabila mereka bertengkar, tidak jarang disudahi dengan pembunuhan secara sadis.

Sekarang mari kita kembalikan pada diri sendiri, adakah terhadap kebenaran diri kita bersemangat atau justru lemas lunglai? Dan, terhadap yang tidak benar, kesia-siaan adakah diri menjauh atau malah semakin antusias?

Yang pasti, kasih sayang Allah ada bersama orang-orang yang gemar memberikan nasehat kepada kebenaran dan kesabaran sebagai peneguh agar diri senantiasa siap dan bersemangat menguatkan iman dan amal sholeh.

Dari mana kita mendapatkan itu?
Di antaranya melalui majelis ilmu dan atau majelis dzikir (yang menjadikan hati kita ingat kepada Allah dan mengetahui kebesaran Allah Ta’ala).
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Jika kamu melewati taman-taman surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya,”Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab,”Halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) dzikir” (HR. Tirmidzi).
Jangan sampai kita merasa bahagia, merasa hebat dan merasa cerdas, sementara iman dibiarkan merana dan amal sholeh digantikan dengan amal salah dengan mulut yang terus “mencaci” kebaikan dan para penegak kebenaran, baik sadar ataupun tidak. Na’udzubillah.

Penulis: Imam Nawawi, Pemimpin Redaksi Majalah Mulia
Foto: www.abuilmia.wordpress.com
Powered by Blogger.
close