“Hidup untuk Makan”
Oleh : O. Sholihin
Sebagai manusia, kita tak
menyangkal bahwa kita memang butuh asupan makanan agar raga dan jiwa kita bisa
tumbuh dan berkembang. Rasa-rasanya kita juga tahu alasannya mengapa kita harus
memasukkan makanan dan minuman ke dalam tubuh kita. Ya, karena manusia
membutuhkan energi dalam melakukan aktivitas dan tetap hidup–maksudnya masih
berfungsinya jantung, paru-paru dan organ vital lain. Asupan makanan ke dalam
tubuh manusia juga akan menghasilkan energi.
Meski kita tahu bahwa
“makan untuk hidup”, tetapi dari style-nya ternyata banyak di
antara kita yang mempraktikkan “hidup untuk makan”. Acara-acara kuliner di
televisi seolah membuktikan bahwa makan bukan lagi sekadar untuk menyambung
hidup, tetapi lebih ke arah memuaskan gaya hidup, selain tentunya memanjakan
urusan lidah dan kerongkongan semata. Seorang teman ada yang sudah hapal di
mana jajanan yang enak jika bepergian ke suatu tempat. Bukan hanya teman yang
memiliki ‘naluri’ jajan seperti itu, jika saya kebetulan diundang mengisi acara
bedah buku atau talkshow remaja di berbagai kota, panitia seperti merasa harus
memuaskan tamunya. Ya, yang paling mudah adalah saya diajak mencicipi beragam
makanan. Mungkin tuan rumah ingin memberikan kesan kepada tamunya tentang
makanan-makanan khas di daerah tersebut.
Salahkah teman saya yang
tahu betul jenis jajanan dan tempat jajan enak? Salahkah teman-teman panitia
yang mengundang saya untuk sebuah acara namun di sela-sela waktu kosong mereka
mengajak saya mencicipi makanan enak dan lezat? Tidak. Sebatas memang yang
dibutuhkan tubuh, sewajarnya, bukan memaksakan harus memenuhi keinginan semata.
Style “hidup untuk makan”
sudah tampak nyata di depan mata kita, dalam kehidupan sehari-hari yang mungkin
saja kita terlibat di dalamnya. Jam makan siang di kawasan perkantoran adalah
pertunjukan paling mudah dilihat. Mereka yang isi dompetnya tebal, memilih
resto yang bisa mengangkat derajat gengsinya. Jangan heran pula jika banyak
eksekutif muda di Jakarta memilih sengaja makan siangnya ke Bogor atau Bandung
demi mencoba jajanan baru yang diiklankan media atau melalui obrolan
kawan-kawannya di situs jejaring sosial. Melalui jalan tol mereka bisa pulang
pergi dengan mudah dan cepat setelah menuntaskan hasratnya menggoyang lidah
makanan incarannya.
Jika demikian faktanya,
kita patut interospeksi diri. Di tengah banyak saudara kita yang sulit
mendapatkan makanan yang layak santap, justru banyak di antara kita yang
menjadikan pola makan dan tempat makan sebagai sarana mengangkat gengsi.
Seringkali alasan demi gengsi menjauhkan kita dari rasa empati kepada sesama.
Padahal, Islam sudah mengajarkan bagaimana kita harus peduli, hingga urusan
makanan. Dari Abdullah bin Musawir berkata: Aku mendengar Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhu menyebutkan Ibnu Zubair, lalu menuduhnya sebagai orang
bakhil. Kemudian berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Tidaklah disebut mukmin orang yang kenyang sedangkan
tetangganya di sampingnya kelaparan” (HR Bukhari,dalam al-Adab al-Mufrad)
Lalu, apakah ini artinya
kita tidak boleh sama sekali memanjakan lidah dengan makanan enak dan lezat di
tempat makan yang prestisius? Tidak juga. Silakan saja. Sekali-kali boleh. Asal
jangan dijadikan sebagai gaya hidup. Sebab, jika sudah menjadi gaya hidup,
kecenderungannya akan mendapatkan label “hidup untuk makan”. Kita menjadi orang
yang mencampur-adukkan antara kebutuhan dengan keinginan.
Namun yang wajib kita
perhatikan adalah, Islam mengajarkan kita untuk mengonsumsi makanan yang halal
dan thoyyib. Demikian pula makanan yang kita berikan untuk keluarga dan
anak-anak kita. Pastinya kita tidak akan tega menyuapkan rizki yang tidak halal
pada anak-anak. Akankah ada generasi sholih yang terlahir akibat mengkonsumsi
yang haram? Rasanya sulit.
Allah Ta’ala berfirman dalam al-Quran: “Dan makanlah makanan yang
halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertakwalah
kepada Allah yang kamu beriman kepadaNya.” (QS al-Maa’idah [5]: 88).
Dalam ayat lain, Allah
Ta’ala menjelaskan:“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari
apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah [2]: 168)
Rasa-rasanya, dengan kedua
ayat ini kita sudah mafhum, bagaimana seharusnya kita bersikap. Toh,
apapun yang kita makan—lezat, nikmat, dan dibeli di tempat jajanan mewah—pada
akhirnya juga sisa serapan sari makanan akan menjadi kotoran.
Penulis: O. Sholihin. Penulis
Buku dan Trainer Remaja
Foto: google
Post a Comment