Kekuatan Diam
Oleh: Dr. Ali Mahmudi
Dikisahkan, sepekan sekali, setiap Kamis, Ibnu Mas’ud r.a.
mengajari sekelompok orang. Berkata salah seorang dari mereka, “Wahai Abu
Abdurrohman (panggilan Ibnu Mas’ud), apakah Anda mau mengajari kami setiap
hari?” Jawab Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku memenuhi
keinginanmu. Hanya saja, aku khawatir akan membosankan kalian, karena akupun
pernah meminta yang demikian kepada Nabi SAW dan beliau khawatir membosankan
kami (HR. Muttafaq ‘alaih). Kisah ini mengajari kita bahwa apapun yang
berlebihan, termasuk berbicara, adalah tidak baik, tidak bijak, bahkan mungkin
kontraproduktif.
Dalam setiap aktivitas apapun, jeda, tidak berbicara, atau
diam sejenak itu penting dilakukan. Pada situasi tertentu, diam itu menunjukkan
kearifan sebagaimana disabdakan Rasululloh, “Diam itu kearifan, tetapi sangat
sedikit yang melakukannya”. Diam itu mudah dilakukan. Namun, diam pada saat
yang tepat dan untuk alasan yang tepat, tidak selalu mudah. Kesadaran akan
pentingnya diam dan pengetahuan mengenai kapan harus diam dan kapan harus
berbicara perlu dimiliki oleh siapapun, termasuk guru. Guru perlu memiliki
kesadaran bahwa belajar diam yang sama pentingnya dengan belajar berbicara yang
baik.
Mengapa guru perlu diam? Guru perlu diam, melakukan jeda,
untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk berpikir. Bagaimanapun juga, anak
memerlukan waktu untuk memahami dan menata pengetahuan yang diperoleh serta
menautkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Pada kondisi demikian,
anak berkesempatan membangun pengetahuannya secara utuh, yakni pengetahuan yang
terjalin dengan baik dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Hal demikian
sejalan dengan filosofi pembelajaran yang saat ini mengemuka yang lebih
berorientasi pada aktivitas siswa. Dalam hal ini, guru perlu memberikan
kesempatan dan menciptakan situasi yang mendukung bagi aktivitas siswa dalam
membangun pengetahuannya.
Diam sejenak penting bagi guru untuk mengevaluasi atau
meninjau apakah cara atau strategi yang digunakan efektif. Dengan diam sejenak
dan memberikan kesempatan kepada anak untuk berbicara secara bebas dan
mengemukakan kesulitan yang dihadapi merupakan cara yang baik untuk mengetahui
kadar kepahaman anak. Dengan cara demikian, guru akan memperoleh pemahaman yang
utuh terhadap kondisi anak serta memberikan tanggapan atau tindakan yang tepat
terhadap kesulitan atau perilaku anak.
Diam sejenak merupakan salah satu cara untuk menarik
perhatian anak. Setelah berbicara beruntun dalam durasi waktu tertentu, guru
perlu menciptakan keheningan, Kondisi demikian akan menarik perhatian anak.
Pada kesempatan ini, guru dapat memberikan penekanan pada informasi yang
penting. Guru juga perlu diam atau menahan diri memotong pembicaraan anak.
Meski mengetahui bahwa pendapat anak tidak sesuai, guru perlu memberikan
kesempatan kepada anak untuk menuntaskan pembicaraannya. Hal ini merupakan cara
yang baik untuk menjaga kepercayaan diri anak. Selain itu, bersegera mengomentari
atau mengevaluasi pendapat anak bisa jadi merupakan cara yang efektif untuk
mematikan kreativitas anak. Anak cenderung takut untuk berpendapat atau
mengemukakan ide-ide kreatif pada kesempatan berikutnya.
Diam dapat merupakan bentuk komunikasi yang kuat. Diam yang
disertai gerak tubuh yang santun diyakini lebih cepat meredakan keributan anak
dibandingkan dengan bentakan yang keras. Ekspresi wajah juga sangat berperan
mendukung peran komunikasi demikian. Konon wajah dapat mentransmisikan lebih
dari 250.000 ekspresi berbeda. Diam yang disertai dengan ekspresi wajah dan
sorot mata yang mendukung dapat diterjemahkan sebagai bentuk kepedulian,
perhatian, kasih sayang, kebahagiaan, atau kebanggan. Seringkali, ekspresi
demikian lebih mudah dipahami anak daripada ekspresi verbal yang tidak tepat.
Dalam konteks lebih luas, guru juga perlu diam, tepatnya
menahan diri, dari berbicara yang berlebihan, sia-sia, dan tidak pantas. Selain
itu, guru juga sebaiknya diam atau menahan diri untuk tidak menggerutu,
berkeluh kesah, atau berbicara yang berkonotasi negatif lainnya. Diam demikian
diyakini akan menjadikan guru lebih berwibawa dan terhormat. Guru juga
seyogyanya diam atau membatasi berbicara yang berkesan sok tahu segalanya.
Kiranya tidak tabu bagi guru untuk diam atau mengatakan tidak tahu bila memang
demikian kondisinya. Diam demikian merupakan salah satu etika ilmiah.
Demikianlah, sekali lagi, bagi guru, belajar untuk diam sama
pentingnya dengan belajar berbicara. Sikap diam yang tepat dapat menjadi
teladan bagi anak untuk berperilaku serupa.
Penulis: Dr. Ali Mahmudi, Dosen
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta
Foto:Murid SDIT Hidayatullah Yogyakarta
Post a Comment