Memaksa Anak Tanpa Harus Memaksa
Oleh : Adam Al Ghifary
Esensi keturunan dalam sebuah rumah tangga, tentunya
tidak sekedar berniat memiliki generasi penerus, tetapi juga sebuah amanah,
yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Kelak
pada waktunya, akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang mereka emban.
Namun sungguh sangat disayangkan, banyak orangtua di
zaman modern ini, yang masih minim pengetahuan akan pentingnya sebuah amanah. Sekalipun
mereka telah memahaminya, untuk
berusaha menunaikan pun serasa duri
mengitari langkah kakinya. Bagaimana tidak? Gempuran
moral yang tidak patut dicontoh, justru mengintai mereka, kapanpun dan di manapun. Ironisnya,
terkadang orangtua ikut andil dalam merusak moral si buah hati. Mereka
tidak sadar bahwa tindakan dan ucapannya terkadang dapat merusak kepribadian
sang anak, baik dengan doktrinasi budaya konsumif, hingga meninggalkan
syariat-syariat Islam. Na’udzubillah.
Kita bisa melihat sendiri realita yang ada di
masyarakat, betapa banyak anak-anak negeri
ini, ketika diminta untuk meneruskan sebuah lirik lagu,
dengan tepatnya, ia segera meneruskan lirik tersebut, tanpa
berkurang satu hurufpun. Namun bila
diminta untuk meneruskan sebuah ayat Al-Qur’an, atau hadits
nabi, seakan ia membisu seribu
bahasa.
Alhasil, ketika mereka tumbuh dewasa, apa yang telah
dibawa oleh orangtua semasa kecil, berupa sikap dan tutur kata, telah menjadi sebuah
karakter bagi sang anak. Hal
ini sebagaimana yang telah diungkapkan oleh pepatah, bahwa “buah tidak akan
jatuh jauh dari pohonnya”. Realita dan polemik di atas bukan tanpa sebab.
Terkadang sebagai orangtua, mereka terlalu memaksakan kehendaknya sendiri,
tanpa berpikir ulang, bahwa keputusan yang diambil oleh sang anak, bisa jadi
justru hal yang tepat.
Salah satu langkan yang tepat dalam mengarahkan si
buah hati, yaitu dengan cara “memaksa
mereka tanpa harus memaksa”. Lalu bagaimana caranya? Bukankah
memaksa anak identik dengan sifat egoisme, dan subyektivitas
orangtua?. Memang benar, memaksa anak akan suatu hal, dapat tergolong pada
kategori tersebut. Namun yang
dimaksud memaksa dalam hal ini adalah yang bersifat subyektif,
bukan obyektif. Seperti memaksa anak untuk
mengambil sebuah pilihan, yang sebenarnya sang anak tidak menghendaki pilihan
tersebut. Padalah kita tahu, bahwa pilihan sang
anak bisa saja akan menjadi sebuah hal yang lebih baik dari pada pilihannya.
Adapun bentuk paksaan yang bersifat obyektif,
seperti memaksa sang anak yang telah aqil baligh, untuk
menunaikan sholat 5 waktu. Karena hal tersebut adalah
tanggungjawab orangtua yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang
Maha Kuasa.
Berbicara lebih lanjut tentang bentuk paksaan orangtua
terhadap sang anak tanpa harus memaksa, langkah
yang perlu ditempuh orangtua adalah mengarahkan sang anak untuk tetap mengambil
keputusan yang sebelumnya telah ia pilih. Jika hal tersebut telah dilakukan
oleh para orangtua, kelak sang anak akan lebih memiliki sifat percaya diri dan
tidak takut akan keputusan yang telah ia tentukan sendiri. Sekalipun pada
akhirnya, keputusan tersebut kurang mendapatkan respon, ia bisa mengambil
alternatif dari keputusannya tersebut.
Namun yang disayangkan justru sebaliknya, banyak
dari orangtua yang bersikap otoriter terhadap buah hatinya sendiri, sehingga pada
akhirnya, anak tersebut tidak memiliki
rasa percaya diri. Kasus seperti ini mungkin banyak terjadi di kalangan
keluarga, ketika sang anak merasa yakin akan sebuah keputusan yang telah ia
pilih, sang orangtua justru bersikap egois akan pendapatnya sendiri. Sehingga,
ketika sang anak telah tumbuh dewasa, ia menjalani hidup apa adanya, bahkan
merasa penuh akan tekanan dari berbagai pihak, baik di tempat kerja, organisasi,
ataupun di lingkungan keluarga sendiri.
Kuncinya adalah selalu
bersikap objektif terhadap sang anak, tidak lantas selalu kekeh akan
pendapatnya sendiri. Karena sesuatu yang kita anggap baik, bisa jadi tidak
demikian bagi orang lain, dan sesuatu yang kita anggap tidak baik, bisa jadi
hal tersebut justru menjadi ladang kebaikan bagi orang lain.
Penulis: Adam Al Ghifary, Pendidik di SDIT
Salsabila Banguntapan
Foto: google
Post a Comment