Hakim Cium Tangan Terdakwa
Oleh: Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A.
“Semakin banyak orangtua maupun wali siswa
melaporkan tindakan guru-guru di sekolah kepada polisi. Beberapa kasus,
berakhir dengan memenjarakan sang guru. Hukuman kurungan yang ditimpakan kepada
guru tersebut bukan saja mengundang keprihatinan, tapi juga mencoreng wajah
dunia pendidikan di tanah air.”
Membaca
berita di sebuah media massa tersebut, saya sebagai seorang pendidik sangat
prihatin. Pada saat kita masih harus bekerja keras, berpacu untuk mengejar
ketertinggalan, baik mutu pendidikan maupun angka partisipasi peserta didik, kita
dihadapkan dengan kondisi seperti itu. Kalau hal ini dibiarkan terus, saya
yakin bahwa pendidikan yang seharusnya menghasilkan generasi tangguh, cerdas
dalam mensikapi berbagai persoalan, tidak akan berhasil.
Hal
ini dapat terjadi karena para guru, pendidik tidak berani lagi “menegur” atau
“mengingatkan”, baik dengan “sentuhan fisik” maupun dengan “kata-kata nasehat” kepada
anak didiknya yang telah melakukan kesalahan, atau pelanggaran. Ketakutan ini
sangat beralasan karena kalau murid itu mengadukan ke orangtua atau wali muridnya,
dengan versi si murid, dan kemudian ada orangtua yang menanggapi secara tidak proporsional,
maka tidak tertutup kemungkinan kasusnya akan berkepanjangan dan berakhir di
pengadilan. Ketika hakim memutuskan perkara tersebut, hanya berdasarkan
pasal-pasal perundangan-undangan saja, maka penjara telah siap menampung sang guru.
Kalau
hal ini terbiarkan, bahwa sang guru tidak mempunyai keberanian lagi untuk
meluruskan perilaku para anak didiknya, maka pendidikan tidak akan menghasilkan
anak yang tangguh, karena yang ada hanya proses pembelajaran, hanya sekedar transfer of knowledge, transfer ilmu,
tidak ada unsur pendidikan lagi. Anak-anak didik yang dihasilkan mungkin memang
akan menjadi anak-anak yang pintar, namun “lembek” kurang tegar dalam
menghadapi tantangan hidup yang sesungguhnya. Tidak sesederhana seperti
kehidupan di dalam kelas maupun di rumah.
Mereka
tidak mempunyai pengalaman bagaimana caranya bersikap saat menghadapi suasana
yang tidak nyaman. Seperti saat menerima saran, kritikan, nasehat, persaingan,
ataupun tekanan dari orang lain. Mereka di sekolah hanya terbiasa menghadapi
suasana yang nyaman-nyaman saja, di rumahpun mungkin orangtua juga jarang
menciptakan suasana dan situasi yang menantang bagi anak-anak mereka. Tidak
sedikit orangtua yang gara-gara enggan bergesekan dengan anak-anaknya, atau
terlalu “sayang” pada anaknya, sehingga mereka enggan menegur ketika melakukan
kesalahan. Bahkan ada orangtua yang tidak mau menyuruh sama sekali anaknya untuk
membantu orangtuanya mengerjakan pekerjaan rumah, hanya karena si anak “terlihat”
sedang belajar.
Saya
“iri” dengan keputusan seorang hakim yang menangani perkara sejenis yang
terjadi di negara lain, namun keputusannya sangat berbeda. Kasus ini saya baca
di posting-an grup WhatsApp berjudul
“Hakim Cium Tangan Terdakwa” (sebuah pelajaran berharga dari Yordania), entah seberapa
jauh kebenaran berita ini, namun tetaplah sangat menarik untuk disimak.
Terdakwa adalah seorang guru SD
yang dilaporkan oleh seorang wali murid, gara-gara ia memukul salah satu
siswanya. Pada saat hakim akan membacakan putusannya, ia justru meninggalkan
tempat duduknya, turun mendekati terdakwa dan mencium tangannya. Semua hadirin
terkejut dengan peristiwa itu, “Inilah hukuman yang kuberikan kepadamu Guru”,
hakim itu ternyata bekas muridnya. Anak yang mungkin dulu sering “dimarahi”
dan “dipukul” oleh guru itu ternyata di kemudian
hari menjadi orang yang berhasil. Seandainya
saat itu gurunya tidak men“disiplin”kan dia, mungkin saat ini dia hanya menjadi
orang yang kesana-kemari tanpa pekerjaan tetap.
Hasil
didikan guru itu, adalah seorang hakim bijaksana yang masih teringat akan jasa orang
yang pernah mendidik dan memarahinya, meskipun sebetulnya saat itu sang pendidik
sebagai terdakwa sudah tidak mengenal lagi bekas muridnya. Anak didik yang
menjadi hakim itu telah memutuskan perkara berdasarkan nuraninya, bukan hanya
berdasarkan pasal perundang-undangan saja. Rasa “iri” saya ini muncul, mengapa
saya belum mendengar hakim seperti ini di negara kita. Wallahu A’lam Bishawab.||
Penulis: Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A., Guru
Besar Fakultas Teknik Mesin UGM. Pimpinan Umum Majalah Fahma
Foto: google
Post a Comment