Kapan Kita Ajarkan Membaca (Al Qur’an)?
Oleh : Mohammad Fauzil Adhim
“Marilah kita akhiri acara
kita dengan sama-sama membaca doa penutup majelis.” Anda pernah mendengar
ungkapan semacam itu? Apakah yang dimaksud dengan membaca pada kalimat
tersebut? Apakah kita kemudian mengambil secarik kertas yang berisi tulisan
doa, lalu membacanya? Tidak. Yang dimaksud dengan membaca pada perkataan
tersebut adalah reciting, yakni mengucapkan satu kalimat atau serangkaian
kalimat yang kita bahkan telah menghafalnya. Sama halnya dengan penggunaan kata
membaca dalam ungkapan “pembacaan doa yang akan dipimpin oleh…” sama sekali
tidak merujuk kepada tindakan seseorang untuk mengambil secarik kertas atau
buku yang berisi serangkaian doa, membacanya, lalu orang lain juga melakukan
hal yang sama, yakni membaca tulisan yang dipimpin orang tersebut. Yang terjadi
adalah, seseorang berdoa sementara yang lain mengaminkannya. Tetapi kegiatan
ini kita menyebutnya dengan membaca.
Berkait dengan mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an,
kita mengenal kegiatan membaca bil ghaib dan bil nadzri. Yang dimaksud dengan
membaca Al-Qur’an bil ghaib adalah “membaca” tanpa melihat mushhaf. Jika
diterapkan pada anak-anak, misalnya kita melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an, lalu
anak menirukannya. Atau pada tahapan lebih awal lagi cukup dengan
memperdengarkan. Tetapi kita mengenalnya dengan istilah membaca, padahal yang
terjadi adalah memperdengarkan. Adapun membaca bil nadzri adalah membaca
Al-Qur’an dengan melihat mushhaf, memahami kaidah-kaidah membaca, mengenali
huruf-hurufnya serta hukum bacaannya.
Di sini kita melihat sekurangnya ada tiga arti membaca
Al-Qur’an.
Pertama, memperdengarkan kepada bayi
ayat-ayat yang kita hafal (reciting
aloud) atau kita baca dengan melihat mushhaf (reading aloud). Dalam hal
ini, proses yang berlangsung adalah anak menerima dan merekam (receiving and recording)
sehingga memudahkan baginya untukmenghafal (memorizing)
di kemudian hari.
Kedua, memperdengarkan kepada anak, lalu
anak menirukan apa yang kita perdengarkan tersebut. Proses memperdengarkan
tersebut dapat berbentuk reciting
aloud, dapat pula berupa reading
aloud. Hanya saja anak kita minta untuk menirukan. Dalam hal ini,
proses yang terjadi lebih kompleks, yakni menerima, mengolah dan memproduksi ucapan
sesuai yang ia dengar.
Ketiga, mengajarkan kepada anak mengenali
simbol-simbol berupa huruf dan mengubah rangkaian simbol menjadi satu kata
bermakna dan selanjutnya menjadi kalimat utuh bermakna. Sebuah proses yang
sangat kompleks. Inilah kegiatan yang secara umum disebut mengajarkan membaca (reading).
Pengertian ketiga tentang membaca Al-Qur’an itulah yang
dikenal sebagai kegiatan membaca (reading) dalam diskusi tentang literasi, pun
pembahasan tentang persekolahan.
Adapun pengertian pertama maupun kedua biasa dikenal
dalam kegiatan pembelajaran membaca sebagai pre-reading
experience (pengalaman pra-membaca). Saya sempat membahas tentang
pengalaman pra-membaca ini di buku Membuat
Anak Gila Membaca.
Jika Anda ingin anak senang membaca, salah satu hal yang
dapat kita berikan sejak usia dini adalah pengalaman pra-membaca. Tetapi saya
tidak sedang mendiskusikan hal tersebut saat ini. Saya ingin lebih fokus pada
pembahasan tentang berbagai makna membaca tersebut. Semoga dengan demikian kita
dapat memberikan rangsang mendidik yang tepat kepada anak.
Saya merasa perlu membahas ini agar kita tidak gegabah
menyalahkan maupun membela. Sebagian saudara kita ada yang dengan gegabah
menganggap bahwa menunda mengajarkan membaca dalam pengertian reading (menangkap simbol
berupa huruf, mengolah dan mengucapkannya menjadi kata maupun kalimat) hingga
usia anak cukup matang sebagai makar Yahudi dan sikap yang menyalahi salafush
shalih. Padahal yang kita dapati pada sejarah para ulama, pembelajaran membaca
yang dimaksud lebih bersifat reciting
aloud maupun reading
aloud.
Sampai saat ini kita masih mendapati berbagai contoh
bagaimana seorang syaikh membacakan suatu ayat, lalu anak menirukannya. Ini
merupakan metode warisan Islam yang sangat bagus. Melalui cara ini anak belajar
secara alamiah untuk mengucapkan (reciting)
ayat-ayat dengan benar, makharijul huruf yang tepat dan menghafal banyak surat
bahkan sebelum ia mampu membaca. Hanya saja hafalan Al-Qur’an mereka kerap
disebut dengan ungkapan “anak sudah memiliki bacaan Al-Qur’an yang sangat
bagus” atau “anak memiliki disiplin membaca Al-Qur’an semenjak dini”, meskipun
yang dimaksud adalah reciting.
Barangkali, inilah resiko tinggal di negeri yang miskin
bahasa. Apalagi jika diperparah dengan keengganan membaca dengan tenang,
menelaah dengan jernih dan memahami dengan baik. Dua sikap yang kita sangat
perlu berhati-hati adalah ifrath
dan tafrith.
Penulis : Mohammad Fauzil Adhim, Penulis buku parenting
Foto: google
Post a Comment