Rengekan Ismail dan Mujahadah Seorang Ibu
Oleh: Mahmud
Thorif
Kita begitu takjub dengan kisah
perjalanan Kekasih Allah, Nabiyullah Ibrahim ‘Alaihissalam. Betapa banyak cobaan yang Allah Ta’ala timpakan kepada beliau. Di usianya yang tidak lagi muda, beliau
belum dikaruniai keturunan, dan tatkala Allah ‘Azza Wa Jalla memberi keturunan, justru di situlah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam diuji imannya, apakah beliau
lebih mencintai anaknya dibanding cintanya kepada Allah Ta’ala?
Dan sejarah mencatat dengan tinta
emas, Nabiyullah Ibrahim ‘Alaihissalam
lebih mencintai Allah Ta’ala
dibanding anak keturunannya. Nabi Ibrahim rela ‘meninggalkan’ istri dan keturunannya di lembah nan tandus
tidak berpenghuni, lembah nan sunyi dari keramaian. “Apakah Allah yang
menyuruhmu berbuat demikian? Jika demikian, maka Allah tidak akan menelantarkan
kami.” Alangkah mulianya perkataan yang keluar dari lisan Ibunda Hajar, sebuah
penerimaan yang jarang kita temukan di zaman sekarang ini. Bukan kalimat
keluh kesah, bukan perkataan umpatan dan makian. Bukan. Justru yang keluar dari
lisan mulia Ibunda Hajar adalah sebuah kekuatan bagi Nabiyullah Ibrahim ‘Alaihissalam untuk semakin yakin
meninggalkan istri dan anak Beliau.
Kita tidak ragu dengan catatan sejarah Ibunda
Hajar yang berjuang dalam kesendirian. Ketika si kecil Ismail merengek,
meronta, menangis kehausan. Sementara air susunya telah kering sama sekali.
Ibunda Hajar harus berdiri, menatap, dan bahkan berlari menyusuri perbukitan
antara Shafa dan Marwa beberapa kali. Letih sudah tentu. Lelah sudah pasti.
Tapi ratapan anaknya telah mampu menutupi itu semua, tangisan anaknya bagaikan
energi yang terus memompa ke dalam tubuhnya. Sehingga ia terus berlari dan
berlari hingga Allah Ta’ala menjawab
segala jerih payahnya. Allah pancarkan dari hentakan kaki Ismail air zam-zam,
air yang hingga detik ini masih terus dimanfaatkan oleh jutaan manusia dari
seluruh penjuru dunia.
Tentu tidak mudah membesarkan
anak dalam kesendirian tanpa suami tercinta. Karena iman yang telah menancap
kuat di dadalah, Ibunda Hajar mampu menjalaninya. Cinta yang tulus mampu
menjadikan Ismail menjadi hamba yang shalih. Tentulah iman yang ditancapkan
kokoh ke dalam jiwa Ibunda Hajar hasil dari didikan Nabiyullah Ibrahim ‘Alahissalam. Nabi Ibrahim telah
mendidik istrinya dengan benar. Beliau telah menjadi imam bagi keluarganya
dengan sempurna. Sehingga ketika guncangan-guncangan keimanan yang dirasakan
oleh Ibunda Hajar mampu diatasi dan dilalui dengan baik.
Nah, apakah kita telah menjadi
suami seperti Nabiyullah Ibrahim ‘Alaihissalam?
Yang mampu mendidik istri menjadi wanita tangguh? Tangguh imannya? Tangguh
mujahadahnya?
Sejarah juga telah mencatat,
kesuksesan Ibunda Hajar mendidik putranya Ismail. Sekali lagi cinta yang tulus
telah mampu menjadikan Ismail menjadi anak yang cerdas dan shalih. Dibuktikan
ketika Ismail beranjak dewasa dan hendak disembelih oleh ayahnya, Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, bukan kalimat penolakan.
Bukan. Justru kalimat yang keluar dari lisan remaja Ismail ini semakin
menguatkan Nabi Ibrahim untuk menunaikan perintah Allah Ta’ala.
“Wahai Ayahku! Lakukanlah apa
yang diperintahkan Allah kepadamu. InsyaAllah
engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Begitulah kalimat dahsyat
yang keluar dari lisan seorang anak kecil bernama Ismail. Kalau bukan didikan
wanita nan tangguh, Ibunda Hajar, siapa lagi?
Wahai para istri,
bermujahadahlah, bersungguh-sungguhlah mendidikan anak-anakmu, karena kelak
anak-anakmulah yang akan menjadi pemimpin di negeri ini. Bagaimana akan menjadi
baik negeri ini, jika anak-anak kita sekarang dididik bukan dengan ketaatan
kepada Allah, bukan menuju ketakwaan.
Jangan sekedar mendidik anak-anak
kita pintar matematika, pandai berbahasa. Jangan. Namun didiklah anak-anak kita
mengenal Rabbnya, mengenal agamanya, mengenal nabinya sehingga kelak ia bisa
mengenal dirinya untuk apa ia diciptakan.
Semoga kita bisa mengambil
pelajaran dari kisah Nabi Ibrahim, Nabi Ismail ‘Alahumassalam dan Ibunda Hajar. Wallahu
a’lam bishawab.
Penulis: Mahmud Thorif, Redaktur Majalah Fahma
Foto: google, jamaah haji sai
Post a Comment