Taat Tanpa Syarat




Oleh: Galih Setiawan

Sebagai suatu ibadah yang Allah perintahkan, berkurban bisa dilihat dari beragam dimensi selain dimensi utamanya sebagai ketaatan pada Allah semata. Dalam dimensi pendidikan dan pengasuhan,  kurban menghadirkan role model dari satu keluarga yang takwa sudah mendarah daging dalam kehidupan setiap anggotanya yaitu keluarga Ibrahim.

Ketakwaan inilah yang menjadikan Ibrahim taat tanpa syarat atas apa yang diperintahkan kepadanya walaupun berat. Ketakwaan jugalah yang dimiliki oleh Hajar yang memungkinkan ia kuat walau harus membesarkan anak sendirian di tengah padang pasir tak bertuan. Ketakwaan harus dimiliki ayah-bunda yang menginginkan buah hatinya menjadi anak kuat dan taat dalam keimanan pada Tuhannya.

Ada beberapa pesan ketakwaan yang dapat kita petik dari pelaksanaan ibadah kurban ini. Pesan ketakwaan yang tentunya harus kita sampaikan pada anak-anak kita. Pertama, ujian kesungguhan cinta nabi Ibrahim pada Allah. Jelaskan pada putra-putri kita bahwa Nabi Ibrahim membutuhkan waktu sangat lama untuk memiliki seorang anak. Sampai akhirnya Nabi Ibrahim dikaruniai putra yang diberinya nama Ismail. Nabi Ibrahim sangat mencintai Ismail, anaknya yang amat sholih dan patuh. Namun kemudian Allah mengujinya, Nabi Ibrahim diminta Allah untuk menyembelih Ismail, putra yang telah dinantinya puluhan tahun itu. Apakah Allah jahat? Tentu tidak! Sebenarnya Allah sudah menyiapkan seekor biri-biri besar untuk menggantikan posisi Ismail jika Nabi Ibrahim lulus tes ujian ini. Dan benar saja, sang Nabiyullah tersebut tak ada keraguan sama sekali dalam menunaikan perintah Allah, ia rela kurbankan anaknya untuk buktikan cintanya pada Allah lebih besar daripada ke Ismail. Allaahu akbar! Itulah artinya berkurban, mengorbankan sesuatu yang dicintai untuk membuktikan kesungguhan pada Allah.

Kedua, kepatuhan seorang anak sholih pada orangtua dan juga Allah. Ceritakan juga betapa Ismail anak yang patuh dan taat pada Allah. Ismail tak menolak ketika ayahnya memberitahukan perintah Allah untuk menyembelih dirinya. Ismail juga sangat berani dan tak gentar menghadapi pedang tajam yang akan menyembelihnya, karena ia yakin bahwa Allah memerintahkan yang terbaik untuk orang-orang sholih. Benar saja, ketika pedang itu hendak menyembelih Ismail, Allah menggantinya dengan seeekor biri-biri besar. Ismail selamat, Nabi Ibrahim pun tak kehilangan nyawa putranya Bahkan Allah menambahkan nikmat mereka berdua dengan mengabadikan momen kurban tersebut menjadi syariat bagi kaum muslimin yang terus dilaksanakan hingga ribuan tahun.

Ketiga, hikmah komunikasi antara orangtua dan anak. Untuk orangtua, ada hikmah besar dari peristiwa kurban yakni baiknya hubungan komunikasi orangtua dan anak. Bukankah Nabi Ibrahim memberitahukan Ismail terlebih dahulu mengenai perintah Allah untuk menyembelih dirinya? Nabi Ibrahim tidak serta-merta melaksanakan perintah Allah tersebut dengan memaksa Ismail menuruti kehendaknya, melainkan membuka komunikasi dua arah terlebih dahulu dengan putranya tersebut. Saat menyampaikan maksudnya pada Ismail, seorang Nabiyullah Ibrahim pun menggunakan kata-kata yang baik. Kata-kata yang keluar dari mulut Ibrahim sangat lembut dan komunikatif. Mari simak penggalan dialog Ibrahim tersebut: “Wahai anakku, tadi malam aku bermimpi, dalam mimpi aku menyembelihmu, bagaimana pendapatmu wahai anakku?” Ibrahim memperlakukan anaknya sebagai seorang yang miliki pendapat dan pandangan sendiri. Dari sini, para orangtua perlu belajar kembali berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang memanusiakan anak.

Berapa banyak orangtua yang memaksakan kehendak pada anak tanpa menanyakan persetujuan anak terlebih dulu? Biarpun untuk kebaikan semisal menyekolahkan anak di pesantren penghafal quran, tetap saja perlu untuk mengajak anak berkomunikasi dan meminta pendapatnya. Inilah salah satu hikmah luar biasa juga dari peristiwa kurban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail.

Keempat, Allah selalu menguji orang beriman, tetaplah berprasangka baik pada ujian-Nya. Jangankan kita yang manusia biasa, para Rasul saja diuji sedemikian rupa, sampai-sampai mendapat titah untuk menyembelih anak sendiri. Bedanya, para nabi dan rasul senantiasa berprasangka baik pada Allah, sementara kita diuji tak seberapa saja langsung mengeluh, komplain, protes, bahkan ada yang mogok beribadah. Sungguh mengenaskan! Maka dari itu, semoga kita makin menyadari pentingnya berprasangka baik pada Allah, sesungguhnya Allah selalu menyiapkan kejutan kebaikan di balik segala ujian yang ia berikan pada kita. Wallaahu a’lam.

Penulis: Galih Setiawan, Redaktur Majalah Fahma
Foto: google
Powered by Blogger.
close