Matikan Televisi Demi Buah Hati
Oleh: Bramma Aji Putra, S.Kom.I
Entah mengapa
sudah sejak lama saya tak berniat lagi dengan televisi. Acara yang ditayangkan
dari kotak segi empat itu tak lebih dari tontonan membosankan, penuh kekerasan,
dan vulgar secara visual. Pendek kata, tayangan televisi tak lagi mendidik.
Tontonan yang ada sudah tak dapat lagi dijadikan tuntunan bagi pemirsanya.
Tampaknya kurang
obyektif apabila penulis gebyah uyah semua tayangan. Benar, ada satu-dua tayangan
televisi yang sejatinya bagus untuk dilihat. Misalnya saja acara tausiyah 'Damai
Indonesiaku' di salah satu televisi swasta. Atau beberapa acara pengajian
termasuk di TVRI. Sayangnya, acara pengajian tersebut kebanyakan disiarkan
waktu pagi atau ba'da shubuh. Kita dapat menebak. Pemirsa yang menyaksikan
acara tersebut hanya mereka yang telah terbiasa bangun pagi. Lebih dari itu,
saya yakin tidak.
Selebihnya,
hampir 24 jam nonstop televisi menghadirkan pelbagai tayangan yang ibarat
makanan fast food, bergizi rendah namun anehnya digemari begitu banyak orang.
Sinetron tak lagi dapat dijadikan pijakan, jalan ceritanya aneh dan sangat
tidak masuk akal. Di pagi hari, televisi sudah menyuguhi kita dengan tayangan
infotainment. Program ghibah yang tidak lebih sekadar mengulik dan mengumbar kekurangan
orang lain. Parahnya lagi, aib yang seharusnya ditutupi malah diumbar layaknya
barang dagangan. Anehnya, sebagian pesohor kita justru jumawa saat tampil di infotainment.
Pun demikian pula
dengan berita. Nyaris nihil dari liputan aksi dakwah. Apalagi pengajian atau aksi
menolak kemaksiatan, hampir mustahil untuk diberitakan oleh televisi. Yang ada
justru pemberitaan tentang sisi negatif ormas Islam tertentu, seperti
anarkhisme, perbedaan pendapat yang dibesar-besarkan, serta propaganda
sekulerisme, liberalism, dan pluralisme. Debat wacana pertikaian politisi, koalisi penuh
tipu-tipu, saling ngotot dan jegal satu sama lain pun juga lazim mewarnai
tayangan televisi di Indonesia. Tayangan yang mengumbar aurat dan pergaulan
bebas pun dianggap wajar di berbagai program televisi.
Begitulah wajah
televisi kita hari ini. Pada titik ini, rasanya televisi tidak kalah berbahaya
dibanding narkoba. Anehnya, dan ini terjadi di negara kita, tiap kanal televisi
boleh ditonton tanpa limit pemirsa. Padahal, dalam studi ilmu komunikasi
kontemporer, diketahui bahwa di negara liberal sekalipun seperti AS, tiap
channel televisi hanya dapat diakses sekian juta orang. Ada batasnya, ada
limitnya. Beda dengan negara kita, televisi dapat merasuk sampai bilik kamar
anak-anak kita. Nihil dari pengawasan orang tua.
Maka tak aneh
jika pengusaha yang akan berlaga di pentas politik dapat dipastikan ia bernafsu
untuk memiliki/mendirikan stasiun televisi. Memang demikianlah yang terjadi di
negeri ini. Lalu apa yang dapat kita lakukan?
Matikan televisi
demi buah hati. Penulis kerap berpikir seperti ini. Kita dapat mencobanya
dengan 2 jam tanpa televisi. Kemudian sehari tanpa televisi, lalu selang-seling
(ibarat puasa Daud atau Senin-Kamis) dan akhirnya kita tak lagi bergantung
dengan televisi. Tak usah ragu, pasalnya informasi dapat kita gapai melalui
media lainnya (koran, majalah, internet, dan sebagainya). Salah seorang Ustaz dalam sebuah
tausiyahnya pernah mengatakan, bahwa televisi itu baru bermanfaat kalau
dimatikan.
Mungkin timbul
pertanyaan, jika tidak ada televisi, bagaimana kita bisa mengakses informasi?
Mudah saja, sediakan satu set komputer dan modem, serta letakkan di ruang
terbuka di rumah Anda. Alhasil putra-putri tetap dapat memantau perkembangan
informasi, menggali ilmu pengetahuan dan bebas dari ancaman televisi. Tentu
saja jika diletakkan di ruang terbuka, kemungkinan penyalahgunaan internet
dapat ditekan seminimal mungkin.
Anda mau
mencoba? Mari matikan televisi demi buah hati. Salam hangat untuk buah hati Anda, generasi masa depan
bangsa.
Penulis: Bramma
Aji Putra, S.Kom.I, Staf Hukmas dan KUB Kanwil Kemenag DIY
Foto: google
Post a Comment