Hat-hati dengan NOMOPHOBIA!
Oleh: Irwan Nuryana Kurniawan, M.Psi.
Apakah
Anda, pasangan Anda, anak Anda, kerabat Anda, kolega Anda, murid atau mahasiswa
Anda, tetangga Anda, atau orang-orang yang Anda sering berinteraksi dengannya, merasa
cemas jika tidak bisa setiap saat memperoleh informasi melalui smartphonenya?merasa
kesal, marah jika tidak dapat melihat informasi yang diinginkan dari smartphonenya?
Merasa cemas,
khawatir jika tidak dapat mengikuti berita-berita seperti yang sedang ramai
dibicarakan, cuaca, dan lain-lain di smartphonenya? Menjadinkesal, marah jika tidak bisa
menggunakan smartphone atau fitur-fitur
tertentu dari smartphonenya tidak berfungsi?
Jika
jawabannya “ya” semua pada semua pertanyaan tersebut di atas, maka Anda, pasangan Anda, anak Anda,
kerabat Anda, kolega Anda, murid atau mahasiswa Anda, tetangga Anda, atau siapa
pun kemungkinan besar mengalami gangguan mental yang dinamakan
Nomophobia—singkatan dari No Mobile Phone Phobia. Phobia
modern abad 21, sebuah ketakutan yang tidak masuk akal ketika seseorang tidak ‘menemukan’
‘bersentuhan’ ponselnya atau tidak dapat berkomunikasi dengan menggunakan
ponselnya. Sebagian ahli ada yang menyebutnya sebagai mobile phone addictions, technological addictions.
Yildirim
dan Correia (2015) menjelaskan orang-orang yang mengalami nomophobia merasa
takut, was-was ketika smartphonenya akan habis baterainya, merasa panik ketika
pulsa smartphone sudah habis atau sudah mencapai batas limit, ketika smartphonenya
tidak mendapatkan sinyal atau tidak
terkoneksi dengan Wi-Fi, dan terus
menerus mengecek atau melihat siapa tahu mendapatkan sinyal atau menemukan
jaringan Wi-Fi. Jika tidak dapat menggunakan smartphone, merasa takut
terdampar/tersesat di tempat yang tidak diketahuinya dan apabila tidak melihat
smartphone untuk beberapa saat, merasa
ingin terus menerus mencarinya/melihatnya.
Jika
tidak membawa smartphone, mereka merasa cemas karena tidak bisa segera berkomunikasi
dengan keluarganya dan atau teman-temannya. Mereka merasa tidak tenang karena
khawatir keluarganya dan atau teman-temannya tidak bisa menghubungi dirinya dan merasa cemas, khawatir karena
tidak bisa menerima pesan dan telepon. Jika
tidak membawa smartphone, mereka akan merasa gelisah karena tidak bisa senantiasa berhubungan
dengan keluarganya
dan atau teman-temannya. Merekamerasa tidak tenang karena mereka tidak bisa mengetahui siapa
saja berusaha mencoba untuk mengubungi dirinya dan merasa cemas, khawatir karena koneksi mereka dengan keluarganya dan atau teman-temannya terputus
(Yildirim&Correia, 2015).
Mereka, lanjut Yildirim dan Correia (2015), jika tidak membawa smartphonenya, merasa tidak tenang karena
status identitas mereka
di media sosialnya terputus/terhenti. Mereka merasa
tidak tenang karena tidak dapat memperbaharui statusnya atau mengetahui informasi
terbaru di media sosial dan jaringan online yang diikutinya. Jika tidak membawa
smartphone, mereka
mengalami kesulitan untuk mengecek pemberitahuan/ notifikasi dari koneksi dan
jaringan onlinenya. Mereka merasa cemas, khawatir karena tidak bisa mengecek pesan-pesan
yang masuk ke emailnya, dan merasa
aneh dan tidak biasa karena mereka tidak
dapat mengetahui apa yang sedang menjadi trending topic.
Memperhatikan sejumlah dampak negatif yang
ditimbulkannya seperti dapat mengganggu interaksi sosial, menimbulkan gangguan-gangguan
perilaku dan perasaan-perasaan buruk tentang diri, mengarah pada keterasingan secara
sosial—pada tingkatan tertentu mengalami alienasi, permasalahan-permasalahan finansial
(Funston &MacNeil, 1999), menimbulkan patologis fisik-psikologis seperti kerusakan-kerusakan
daerah tertentu yang terkait (disebabkan) radiasi elektromagetik
(Samkange-Zeeb&Blettner, 2009; Roosli, Frei, Mohler, & Hug, 2010),
kecelakaan-kecelakaan kendaraan (Briem&Hedman, 1995; Violanti, 1998;
Goodman, Tijerina, Bents, &Wierwille, 1999), dan distress teknologi (Beranuy, Oberst,
Carbonell, &Chamarro, 2009; Lee, Jin, & Choi, 2012). Para ahli yang
tergabung dalam The Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder edisi V (DSM-V) Anxiety Work Group merekomendasikan Nomophobia untuk dimasukan dalam
DSM-V kategori phobia spesifik, bersama-sama dengan blood/injection/injury
phobia (B-I-I), animal phobia, natural environmental phobia, situational phobia.
Secara syariah tampaknya indikator-indikator perilaku dari
Nomophobia perlu lebih disikapi dengan sangat hati-hati lagi karena mendekati salah
satu bentuk perilaku menyekutukan Allah
Ta’ala yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (2013)
yaitu bila dunia menguasai pikiran dan akal seseorang. Orang-orang yang seperti
ini saat tidur dan terjaganya akal, pikiran, dan tubuhnya semuanya tercurah kepada
dunia; apa yang telah diperoleh hari ini dan apa yang belum diwujudkan. Dunia telah
menguasai hatinya dan tidak memiliki keinginan selain dunia. Rasulullah
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menegaskan, “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba kain
bermotif”. Baginya dunia lebih penting daripada shalat dan ibadah-ibadah yang
lain. Mari mohon kekuatan dan perlindungan Allah Ta’ala agar tidak dimasukkan
ke dalam orang-orang yang “Celakalah hamba Smartphone/Gadget!”
Penulis : Irwan Nuryana Kurniawan, M.Psi., Pimpinan
Redaksi Majalah Fahma
Foto : google
Post a Comment