Mendidik Keberanian Pada Anak
Oleh
: Imam Nawawi
“Tuhanku,
aku mohon agar putraku jangan dibimbing di jalan yang mudah dan lunak, tetapi
di bawah tekanan dan desakan, kesulitan dan tantangan. Didiklah putraku supaya
teguh berdiri di atas badai serta berbelaskasihan terhadap mereka yang gagal.
Bentuklah putraku supaya menjadi manusia yang cita-citanya tinggi. Putra yang
memimpin dirinya sendiri sebelum berhasrat memimpin orang lain.”
Kalimat
di atas adalah untaian doa dari seorang Hengky Kurniawan di akun instagramnya
dengan foto berdua bersama putranya.
Mungkin
tidak banyak orangtua yang berani berdoa dengan kalimat lugas seperti itu.
Sebagaimana kita tidak berharap anak kita jatuh, luka, apalagi sampai gagal
dalam kehidupan.
Melepas anak bermain sepatu roda di area yang
diinginkannya saja, orang tua harus berani
Namun,
seperti yang lumrah dipahami kebanyakan orang, sukses itu bisa hidup enak.
Tanpa masalah, tanpa rintangan dan tentu saja kalau bisa semua berjalan sesuai
harapan. Tetapi, selagi itu dunia, di bumi ini, hal itu hanyalah utopia.
Untuk
melahirkan generasi pemberani orangtua adalah pihak pertama yang mesti
meneladankan keberanian. Bukan saja dengan petuah-petuah tetapi juga dengan
tindakan. Jangan sekali-kali berpikir bahwa anak-anak kita akan menempuh jalan
yang orangtuanya tempuh. Sama sekali tidak mungkin. Oleh karena itu, siapkan
diri mendidik anak kita menghadapi tantangan zamannya.
Dalam
rangka itulah, Rasulullah menganjurkan agar umat Islam mendidik anak-anak
mereka untuk menjadi generasi tangguh dengan mengasah keterampilan berenang,
berkuda dan memanah. Ketiganya adalah jenis olahraga yang tidak saja butuh
keberanian tetapi juga ketepatan berhitung dan kepekaan rasa dalam memenangkan
diri dalam setiap keadaan.
Dan,
ketiga hal tadi diajarkan, dilatih dan dibiasakan agar mereka tampil menjadi
anak-anak tangguh, pemberani dan terdepan dalam menegakkan agama. Mereka tidak
takut jatuh, terlatih fokus dan berpikir lebih banyak untuk memenangkan
agama-Nya.
Mari
belajar pada sosok Aisyah radhiyallahu anha.
Istri Nabi itu sangat luar biasa keberaniannya.
Ada
sosok Abdullah bin Zubair bin Awwam al-Qurasyi al-Asady, yang kala terjadi
Perang Yarmuk usianya baru 10 tahun. Terhadap dirinya, Abu Bakar berkata, “Dia
adalah penunggang kuda bangsa Quraisy di zamannya.” Lantas bagaimana dengan
anak-anak wanita?
Diriwayatkan
oleh Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, Abdullah bin Zubair Radhiyallahu Anhu
berkata, “Aku tidak pernah melihat wanita yang lebih dermawan dari Aisyah dan
Asma’. Cara mereka berdua berbeda: Aisyah mengumpulkan berbagai barang. Jika
sudah terkumpul padanya, lalu ia bagi-bagikan. Sedangkan Asma’ tidak memiliki
apapun untuk esok hari.”
Namun,
berani tak identik dengan gulat, berkuda dan memanah semata. Tetapi juga dengan
sifat malu. Umar bin Abi Salamah adalah anak yang mendapat pendidikan akhlak
mulia dari Rasulullah berupa sifat malu.
Mengenai
pendidikan akhlak itu, Umar bin Abi Salamah berkata, “Suatu ketika aku berada
di pangkuan Rasulullah, dan aku mengulurkan tanganku ke arah sebuah piring
hidangan. Lalu beliau bersabda, “Nak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan
tangan kananmu, dan makanlah dari hidangan yang terdekat denganmu.”
Dalam
makna kekinian, malu menjadikan anak berani untuk tidak korupsi, memakan yang
di luar jangkauan (bukan haknya) dan tidak mencari makan dan memakan makanan
melainkan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala.
Pendidikan
akhlak seperti ini akan menjadikan anak-anak kita berani lapar dalam menjaga
imannya. Pada sisi lain, mereka berani mengarungi hidup ini dengan segala
tantangan rintangan untuk menegakkan agama Allah. Sebuah spirit yang telah lama
tenggelam dari sebagian besar tradisi keluarga muslim.
Kalau
mau belajar dari sejarah, sosok Nabi Ibrahim adalah tauladan luar biasa. Beliau
rela meninggalkan anak dan istrinya di tengah gurun demi dakwah dan menyerahkan
semua urusannya kepada Allah Ta’ala,
sehingga kala Ismail tumbuh remaja dan dewasa, keberaniannya sangat luar biasa.
Bahkan kala perintah menyembelihnya turun kepadanya.
“Jika
itu (menyembelihku) adalah perintah-Nya, lakukanlah wahai ayahku.” Sungguh
keberanian seorang anak yang tidak ada duanya. Namun dalam level apapun, semoga
anak-anak kita adalah sosok pemberani dalam menegakkan agama-Nya. Aamiin.
Penulis
: Imam Nawawi, Penulis di hidayatullah.com
Foto:
google
Post a Comment