Orangtua Digital
Oleh:
Mohammad Fauzil Adhim
Pada
anak-anak balita, mereka tak dapat mengimbangi dengan aktivitas internet.
Tetapi mereka pun mulai belajar menikmati dunianya sendiri dengan gadget, game
dan tontonan sembari pelahan-lahan belajar menganggap kehadiran orangtua
sebagai gangguan. Di saat seperti itu, masihkah kita berharap tutur kata kita
akan mereka dengar sepenuh hati?
Astaghfirullahal ‘adzim.
Kepada Allah Ta’ala saya memohon atas lalai, lengah dan teledor saya terhadap
anak-anak dan keluarga.
Tapi
bukankah kita tidak dapat mengelak dari kehidupan digital? Emm… Mungkin ya,
mungkin tidak. Berkenaan dengan ini, ada beberapa hal yang perlu kita
perhatikan:
Pseudo-Attachment: Seakan Dekat, tapi Tak Akrab.
Jika
anak aktif di social media, orangtua memang sebaiknya berteman ataupun saling
menjadi follower. Tetapi ini saja tidak cukup. Orangtua tetap perlu
memperhatikan tingkat konsumsi anak terhadap social-media. Merespon status anak
di social media juga sangat bagus, tetapi jika tidak mengimbangi dengan
aktivitas nir-luring (off line) yang baik, kita dapat terjebak dalam
pseudo-attachment (kedekatan semu), seakan saling dekat, padahal masing-masing
sibuk dengan dunianya sendiri; sibuk narsis. Orangtua merasa dekat dengan anak,
padahal mereka sebenarnya belum benar-benar saling mengenal.
Privasi atau Alienasi: Tetap Harus Ada Kontrol Orangtua
Salah
satu kata sakti di era digital ini adalah privasi. Terlebih sejumlah gadget
memang menyediakan fitur yang memberikan privasi penuh. Tetapi satu hal yang
harus kita ingat, memberi pupuk (padahal ini sangat bermanfaat) sebelum
waktunya justru menjadikan tanaman mati. Bukan sekedar tidak berkembang. Begitu
pun privasi, tanpa kendali yang baik dari orangtua di satu sisi, dan kepedulian
serta empati yang kuat pada diri anak, member privasi penuh justru menjadi
pintu awal alienasi. Anak terasing secara sosial, selfish dan egois. Jika ini
terjadi, kecakapan sosial anak akan tumpul.
Apakah
ini berarti kita tidak memberikan privasi? Kita tetap memberikannya sesuai
tuntunan agama dengan takaran yang tepat. Kita memberikannya untuk hal-hal
tertentu, misal berkenaan dengan penjagaan aurat, tetapi tidak membiarkan anak
tenggelam dengan dunianya sendiri atas nama privasi.
Soal
gadget yang berkemampuan untuk melakukan aktivitas online misalnya, kita perlu
mengingat bahwa anak perlu bekal memadai berkait etika berinternet dan memahami
betul apa yang perlu dilakukan untuk memperoleh manfaat dari gadget. Bukan sekedar
memperturutkan keasyikan. Privasi juga hanya akan baik apabila sudah tepat
waktunya untuk memberikan. Ibarat api. Jika anak belum dapat cukup matang,
jangan biarkan anak bermain-main api sendirian.
Mesin
Pembunuh Itu Bernama Game Online
Jangan
kaget. Saya harus menyebut dengan ungkapan menyeramkan karena memang sangat
banyak kasus yang saya temukan. Gegara game online, anak yang tinggal setengah
juz saja sudah hafal Al-Qur’an penuh 30 juz, akhirnya terdampak menjadi pecandu
game online. Sanggup bermain terus-menerus hingga lebih dari 2 hari 2 malam
tanpa istirahat. Mereka berhenti bermain hanya karena badannya sudah tidak kuat
lagi menyanggah keinginannya. Berhenti karena tertidur. Ini berarti, anak yang
telah kecanduan game online kelas berat hampir tak melakukan aktivitas lain di
luar bermain game. Ini sangat mengerikan.
Ada
pula yang sampai melakukan penipuan demi membeli level bermain game online yang
lebih tinggi. Ini semua tentu tidak tiba-tiba. Ada tahapnya. Nah, yang perlu
kita jaga adalah, anak yang belum kenal game online jangan sampai diantarkan ke
pintu-pintunya semata karena temannya banyak yang bermain game online. Tiap
orangtua punya arah (termasuk yang tidak tahu harus kemana). Kita harus
mengendalikan arah pendidikan anak kita.
Time to Go Online: Kapan Kita Beri Kesempatan Anak
Berselancar
Boleh
saja anak melakukan aktivitas online, tetapi kita perlu memperhatikan beberapa
hal. Pertama, apakah budaya belajarnya telah tertanam kuat. Budaya belajar,
bukan sekedar kebiasaan belajar. Jika budaya belajar belum mereka miliki, maka
kegiatan online akan mematikan hingga ke akar-akarnya.
Kedua,
apakah anak telah memahami betul etika dunia maya serta manfaat apa yang akan
mereka dapatkan. Jika mereka memiliki arah yang jelas, internet dapat menjadi
fasilitas yang sangat bermanfaat. Tetapi jika tidak, mereka akan terkalahkan
oleh internet dan tenggelam di dalamnya, termasuk tenggelam dalam aktivitas
pacaran online. Ketiga, apakah anak memiliki kecakapan sosial yang memadai dan
memiliki ikatan sosial yang baik dengan teman-teman maupun keluarga. Jika ini
tidak ada, kita perlu persiapkan anak agar memiliki lingkungan hubungan sosial
yang baik terlebih dahulu agar kelak tidak teralienasi dari kehidupan sosial
atau bahkan kehidupan nyata pada tingkat minimal.
Usia
berapa sebaiknya anak boleh melakukan kegiatan online? Jika benar-benar sampai
pada tingkat kebutuhan, anak dapat memiliki alamat email dan kegiatan internet
untuk mencari pengetahuan di usia sekitar 10 tahun. Syaratnya, tiga hal tadi
telah ada.||
Penulis : Mohammad
Fauzil Adhim, S.Psi. Penulis Buku-buku Parenting
Foto:
google
Post a Comment