Ruang Kecil (bagian 1)




Oleh : Abdul Muttaqin

Ini adalah kisah dari Pak Munif Chatib. Beliau ‘curhat’ tentang pendidikan di Finlandia dalam satu sesi seminar tentang Multiple Intelligence di Madrasah Pembangunan UIN Jakarta. Dari paparan Pak Munif yang sering mondar-mandir Finlandia mengamati sistem pendidikan di sana, kami diberi tahu, pendidikan di sana memang hebat. Begitu hebatnya, seringkali pendidikan Finlandia menjadi model sebagai standar ukur majunya sebuah dunia pendidikan. Salah satu tolok ukur majunya pendidikan di Finlandia adalah guru-guru yang hebat.

Baru-baru ini, Mendikbud baru yang menggantikan Pak Anies Baswedan, menggagas Full Day School. Sontak saja gagasan itu jadi polemik. Sebagai sebuah gagasan lalu jadi polemik, setuju atau tidak setuju, itu biasa, meskipun yang setuju tidak segan-segan membela gagasan itu sebagai ‘bagus’, dan yang tidak setuju mengeritik gagasan itu sebagai gagasan apalah namanya. Saya tidak sengaja membaca sebuah status pengritik gagasan Pak Muhadjir yang menurut saya ngawur sengawur-ngawurnya. Bengong saya membaca kritikan model begitu. Katanya, apa tidak takut anak jadi atheis atau liberal kalau gagasan Full Day School itu diterapkan Pak Menteri?

Saya ngikik baca kritik model begitu. Dulu saya pagi sekolah di SD. Sore di Diniyah. Malam masih ngaji pula di masjid sampai lepas Isya. Full Day School pisan. Apalagi kawan-kawan saya yang mondok? Syukur, saya tidak jadi liberal, apalagi ateis. Kalau saja ada hasil penelitian yang bersifat empirik mengenai korelasi antara Full Day School dengan kecenderungan jadi atheis atau liberal, maka Indonesia akan banjir oleh orang liberal dan atheis mungkin ya?

Kembali ke Pak Munif dan hebatnya pendidikan di Finlandia. Jadi kata yang memuji-muji pendidikan di Finlandia, tanpa Full Day School dan tanpa memberi PR, pendidikan di sana maju. Bahkan termasuk dalam kategori sistem pendidikan terbaik di dunia. Memang, kata Pak Munif, dua hal mengapa pendidikan Finlandia maju adalah karena kepemimpinan kepala sekolah dan kemampuan pedagogik guru-gurunya yang hebat. Di Finlandia, kualifikasi guru-guru di sekolah pre school sampai SMA dan SMK minimal harus master atau S2. Biaya pendidikan di sana pun gratis dari TK sampai tingkat doktoral.

Uniknya, di Finlandia tidak ada PR, tidak ada ujian dan standarisasi hasil belajar. Karena itu dari jenjang TK sampai SMA tidak ada tes. Semua siswa otomatis naik kelas. Ujian hanya diberikan saat siswa menginjak usia 16 tahun. Nah, bingung kan?

Pak Munif cerita, begitu hebatnya pendidikan di sana, sampai-sampai Pak Munif penasaran, apa pendidikan di Finlandia itu tidak ada kekurangannya sama sekali? Pak Munif lalu mengundang guru-guru di sebuah SMA terbaik di sana untuk makan-makan di restoran mahal Finlandia. Guru-guru itu diizinkan membawa keluarganya sekalian. Diundang makan di restoran mahal dan diizinkan membawa keluarga, siapa yang tidak mau? Usai diceritakan, tahulah saya, itu trik Pak Munif untuk mengorek keterangan para guru itu soal pendidikan mereka. Semacam jebakan betmen kata saya.

“Saya ngerogoh kocek dalam sekali untuk membayar ongkos makan mereka waktu itu,” kata Pak Munif sambil terkekeh. Peserta seminar ikutan terkekeh.

Singkat cerita, Pak Munif memuji-muji kehebatan pendidikan di negara mereka. Mereka senang. Lalu dengan cerdiknya Pak Munif berkata, “Saya jadi penasaran, apa kira-kira kekurangan pendidikan kalian?”

Mungkin karena sudah diundang makan di restoran mahal, tidak enak kalo mereka tidak mau buka mulut. Pak Munif juga merasa harus dapat bocoran sebab sudah mengeluarkan banyak uang untuk ngundang mereka makan. Lalu dengan malu-malu mereka buka suara.

Salah satu dari mereka cerita. Ada dua hal saja yang disampaikan. Pertama, di sekolah mereka ada ruang khusus. Letaknya dekat ruang kepala sekolah.

“Pak Munif tahu ruang kecil dekat ruang kepala sekolah waktu Pak Munif berkunjung?” kata guru tersebut dengan gaya bertanya.
“Ya. Tahu. Memangnya, ruangan apa itu?”

Dengan antusias Pak Munif mendengarkan rahasia soal ruangan itu. Ternyata, ruangan itu adalah ruang untuk mengamankan guru yang mabuk akibat minum alkohol. Disediakan khusus untuk sementara waktu agar mereka tidak masuk kelas dan mengajar dalam kondisi mabuk. Di ruangan itu pula, guru yang sedang teler melakukan apa saja layaknya orang mabuk, seperti memukul apa saja di ruang itu. Mereka biasa mabuk di sekolah. Tiap kali mereka mabuk, mereka harus masuk ruangan itu. Ini lebih baik dari pada masuk kelas lalu siswa yang jadi sasaran dipukul guru yang sedang teler.

“Tapi jangan bilang-bilang kepala sekolah ya, Pak?” kata mereka. Kira-kira begitu.
Pak Munif speechless. Saya speechless mendengar cerita Pak Munif. Masih ada kelanjutan kisah ini, yang akan membuat kita lebih speechless, insya Allah akan berlanjut di edisi selanjutnya.

BERSAMBUNG Ruang Kecil bagian 2)

Penulis : Abdul Muttaqin, Penulis lepas, Tinggal di Depok, Jawa Barat
Foto: google
Powered by Blogger.
close