Bekerja dengan Hati
Oleh
: Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A.
“Saat
ini semakin banyak orang yang dalam bekerja hanya memperhitungkan untung-rugi
saja, tidak mempertimbangkan hati dan perasaan”. Kalimat ini diucapkan oleh
teman mengobrol saat menunggu proses penyembelihan hewan kurban di hari Raya Idul
Adha kemarin.
Dia
kesehariannya bekerja di bandara, yang dengan mobil pribadinya beliau mengantar
tamu-tamu yang baru saja turun dari pesawat menuju ke hotel, ataupun ke tempat-tempat
yang mereka kehendaki. Suatu siang, setelah selesai menjalankan sholat dzuhur berjamaah
di masjid bandara, teman tadi berjalan menuju ke pintu kedatangan penumpang,
siapa tahu di antara mereka ada yang membutuhkannya.
Seperti
biasanya, di situ sudah menunggu teman-teman seprofesi yang juga mencari calon
penumpang. Namun dia tidak langsung berbaur dengan teman-temannya, berdiri agak
jauh, sambil mempelajari situasi. Teman-temannya terlihat sibuk menyambut calon
penumpang sambil menawarkan “Taksi Pak, Taksi Pak, diantar ke mana Pak?”.
Di
antara penumpang yang keluar dari pintu kedatangan, terlihat seorang lelaki tua
dengan membawa trolley memuat barang
bawaan yang cukup banyak. Ketika ditawari jasa taksi dia menolak dengan halus, dan
justru balik bertanya ke arah mana jalan menuju ke stasiun kereta api. Sambil tetap
menawarkan jasa taksi ke orang lain, orang yang ditanya itu menjawab sekenanya
“Arah sana Pak”, sambil telunjuknya mengarah jalan yang dimaksud. Karena merasa
belum jelas arahnya, pak tua menanyakan lagi ke yang lain. Ternyata dijawab
dengan nada kalimat yang sama, hanya sedikit lengkap, “Arah sana Pak, lalu
belok kiri“. Dilihat dari raut muka bapak tua itu, jelas sekali dia masih belum
paham.
Melihat
kejadian itu, teman tadi tidak sampai hati untuk
membiarkan bapak tua kebingungan, gara-gara temannya menjawab sekenanya saja. Mereka
tidak peduli dengan kesulitan orang tua, dan justru lebih mementingkan pada
calon penumpang lain yang mungkin akan menerima jasanya. Lalu teman tadi
mendekati sang bapak sambil berkata “Pak, saya akan membantu bapak menuju ke
stasiun, dan saya tidak perlu dibayar karena saya bukan porter” (berdasar pengalamannya kalau dia tidak bilang begitu,
biasanya tawarannya akan ditolak karena dikira dia itu porter, orang yang menawarkan jasa membawa barang dengan bayaran).
Lalu dia membantu sang bapak tua berjalan ke stasiun yang lokasinya memang menjadi
satu kesatuan dengan bandara. Mungkin nasib baik belum memihak ke bapak tadi,
kereta api yang akan dinaiki baru saja lewat lima menit yang lalu, dan kereta
berikutnya masih lima jam lagi.
Melihat
sang bapak semakin gelisah, teman tadi tidak sampai hati untuk meninggalkannya sendirian.
Dia melanjutkan untuk menemani perjalanan ke terminal bis Damri, dan tenyata keberangkatan
bis Damri ke kota yang dituju juga masih tiga jam lagi. Teman tadi semakin
kasihan melihatnya, lalu memberikan alernatif lain, sang bapak diminta untuk naik
bis kota atau Trans Yogya menuju ke terminal bis umum, dan dari sana beliau bisa
mengambil bis luar kota. Bapak itu kurang setuju karena bawaannya banyak, kalau
naik-turun bis beberapa kali akan repot. Akhirnya bapak bilang “Ya sudah mas,
saya diantar ke terminal bis umum saja, dengan mobil kepunyaan mas. Tapi nanti
saya dibantu menaikkan barang-barang ke bis ya”. Dengan senang hati, teman tadi
segera mengambil mobil Innovanya dan
memasukkan barang yang besar ke bagasi belakang dan yang lain ke jok tengah.
Namun, ketika bapak tua sudah masuk ke dalam mobil, dan setelah duduk beberapa
saat, beliau berkata “Mas, saya tidak perlu diantar ke terminal bis, tetapi
langsung saja diantar ke Kutoarjo ya...”.
Subhannallah, meskipun dengan
niat awal hanya akan membantu orangtua yang kebingungan, namun justru akhirnya
mendapatkan rejeki yang lumayan, tanpa harus bersusah payah bersaing dengan
temannya untuk mendapatkan penumpang. Dia telah mendapatkan dua hal, pahala
atas kebaikannya dan rejeki untuk keluarganya. Allah Maha Mengetahui, tanpa
mintapun Allah Ta’ala akan memberi rejeki pada hambanya yang memang telah
berbuat kebaikan dengan ikhlas. Wallahu
A’lam Bishawab.
Penulis:
Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A., Guru
Besar Fakulta Teknik Mesin UGM, Pimpinan Umum Majalah Fahma
Foto: google
Post a Comment