Hiasan Ahli Ibadah




Oleh : Asnurul Hidayati

Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib adalah cicit Rasulullah. Beliau diberi  julukan Zainul Abidin, yaitu hiasan para ahli ibadah.  Pribadinya sangat  bertakwa, rajin  ibadah,  serta  dihiasi dengan akhlaknya yang terpuji. Kesolihannya sangat menonjol di kalangan kaumnya.  

Suatu hari Thawus bin Kaisan  melihat Ali bin Husain berdiri di bawah bayang-bayang Ka'bah.  Ia menangis tersedu dalam munajatnya,  dan berdoa terus-menerus seperti orang yang sedang terdesak kebutuhan yang sangat. Setelah Ali bin Husain selesai berdoa, Thawus bin Kaisan mendekat dan berkata: "Wahai cicit Rasulullah, kulihat Anda dalam keadaan demikian padahal Anda memiliki tiga keutamaan yang saya mengira bisa mengamankan Anda dari rasa takut.” "Apakah itu wahai Thawus?" Ali bin Husan balik bertanya.
"Pertama, Anda adalah keturunan Rasulullah. Kedua, Anda akan mendapatkan syafaat dari kakek Anda.  Ketiga, rahmat Allah bagi Anda," iawab Thawus.

"Wahai Thawus, garis keturunanku dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjamin keamananku,  setelah kudengar firman Allah:’...kemudian ditiup lagi sangkakala, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka hari itu...’(QS Al Kahfi 99-red). Adapun tentang syafaat kakekku, Allah telah menurunkan firman-Nya: ‘Mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah.’  (QS Al-Anbiya': 28 -red). Sedangkan mengenai rahmat Allah,  firman Nya:’Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik’." (QS Al-A'raf: 56 -red) ujar Ali bin Husain.

Alin bin Husain atau Zainul Abidin  juga dikenal karena kebijakan, kedermawanan, sifat sabar dan kelapangan dadanya.  Diceritakan dari Hasan bin Hasan bin Ali: Pernah terjadi perselisihan antara aku dengan putra pamanku, Zainul Abidin. Kudatangi dia tatkala berada di masjid bersama sahabat-sahabatnya.  Aku memakinya habis-habisan, tapi dia hanya diam membisu sampai aku pulang.

Malam harinya ada orang mengetuk pintu rumahku. Aku membukanya untuk melihat siapa gerangan yang datang. Ternyata Zainul Abidin. Tak aku sangsikan lagi, dia pasti akan membalas perlakuanku tadi siang. Namun ternyata dia hanya bicara: "Wahai saudaraku, bila apa yang engkau katakan tadi benar, semoga Allah mengampuniku. Dan jika yang Engkau katakan tidak benar, semoga Dia mengampunimu..." Kemudian beliau berlalu setelah mengucapkan salam.

Mendengar perkataan Zainul Abidin, aku merasa bersalah.  Aku pun mengejarnya dan berkata: "Sungguh, aku tak akan mengulangi kata-kata yang tidak Anda sukai!"

Beliau berkata: "Saya telah memaafkan Anda."

Masya Allah, kesholihan Zainul Abidin telah menghiasi pribadinya menjadi pribadi yang mulia dan mengagumkan. Akhlak yang bagus menjadikannya mudah memaafkan. Saat  berhadapan dengan perkara yang tidak menyenangkan. Ia pun dengan mudah menghadapi dan menyelesaikannya. Akhirnya hubungan dengan orang lain pun semakin baik keadaannya. Akhlak ‘memaafkan’, yang telah menghiasi pribadi Zainul Abidin menjadikan pribadi nya semakin mulia. Bukan sebaliknya. Orang merasa turun derajatnya jika ia harus bermurah hati memaafkan orang lain yang telah menyakitinya.

Semoga anak-anak kita mampu meneladani akhlak mulia dalam memaafkan orang lain. Baik orang lain itu tidak sengaja atau dengan sengaja telah menyakitinya. Baik orang itu yang memulai minta maaf, maupun orang itu tidak minta maaf. Barakallahufikum.

Sumber : Mereka Adalah Para Tabi’in.DR. Abdurrahman Ra’fat Basya.

Penulis: Asnurul Hidayati, Guru MI di Bantul.
Foto: google
Powered by Blogger.
close