Agar Tak Menyimpang
Oleh : R. Bagus
Priyosembodo
Ada
hal yang menarik pada penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Tholhah Hasan dan
beberapa rekannya tentang menurunnya peran keluarga sebagai pranata pendidikan.
Ada tiga pertanyaan kunci yang diajukan yaitu: (1) Apakah karena kurangnya
kemauan dari pihak orangtua? (2) Apakah karena kurangnya kemampuan untuk
memberikan pendidikan kepada anak-anaknya? (3) Apakah karena kurangnya
kesempatan (waktu) untuk memberikan pendidikan kepada anak-anaknya di
tengah-tengah kehidupan keluarga?
Jawaban
terbanyak yang muncul adalah karena
tidak mempunyai kesempatan/waktu untuk mendidik anak-anaknya di rumah. Bagi
masyarakat ekonomi level bawah berdalih, bahwa waktunya habis untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup. Bagi level menengah mengatakan bahwa waktunya habis
untuk memenuhi kegiatan sosial dan memperoleh kesenangan hidup yang lebih baik.
Sedangkan yang ada pada level atas mengatakan bahwa waktunya habis untuk
mengejar ambisi, karir dan kepuasan materi sebanyak mungkin, yang dipandang
sebagai prestasi hidup. Apapun, inilah yang memiriskan. Mundurnya peran
keluarga dalam memberikan pendidikan langsung kepada anak-anaknya. Keluarga tidak
berfungsi baik.
Ajaran
nan mulia, menuntuni kita bahwa peran keluarga dalam menjagai dari kerusakan kepribadian
anak adalah amat penting. Rasulullah berkata, “Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani
atau Majusi” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Fitrah
yang merupakan bawaan baik ini seringkali dirusak di dalam keluarga. Akal (‘aql), qalbu dan jiwa (nafs) menjadi
menyimpang melalui pola asuh kedua orangtua. Keluarga adalah tempat pendidikan
pertama dan utama. Pengembangan watak, kepribadian, nilai-nilai budaya,
nilai-nilai keagamaan dan moral, serta keterampilan sederhana disemai dan
ditumbuhkan. Proses berkelanjutan dengan
tujuan untuk mengantar anak agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa,
berakhlak luhur, tangguh, mandiri, istiqomah di jalan yang benar. Senantiasa
menjaga diri dari penyimpangan. Meneguhkan diri bersama orang shalih. Menjagai
diri dari manusia durhaka. Semua itu, mestinya dijaga dan diteguhkan di dalam
keluarga.
Keluarga
adalah pintu awal dalam memberikan keyakinan agama. Nabi Ibrahim kepada anaknya
Ismail, Lukman kepada anaknya, mengajarkan tauhid kepada anak mutlak dilakukan
oleh kedua orangtua, agar anak mampu meyakini adanya Tuhan yang wajib diibadahi,
sehingga enggan melakukan hal-hal yang dilarang.
Keluarga
juga merupakan titik awal penanaman nilai-nilai moral dan budaya. Orangtua
memberikan nama yang baik, memberikan makanan yang halal, mengajari membaca
Alquran, melatih sopan santun, serta mencintai Nabi Muhammad.
Keluarga
adalah sumber teladan utama. Tidak mencontohkan kesalahan dan menyimpang dari
kebenaran. Orangtua memulai segala kebaikan mulai dari diri sendiri.
Keluarga
itu memberi perlindungan. Inilah kewajiban utama yang Allah perintahkan kepada
setiap orang terutama kepala keluarga. “Peliharalah diri kalian dan keluarga
kalian dari siksa api neraka….”. menjaga agar keluarga tidak bersalah karena
meninggalkan kewajiban atau melakukan pelanggaran hal hal yang dilarang. Dua
hal inilah yang utama menjadikan mereka terjatuh dalam kesengsaraan abadi di
akherat.
Hendaklah
kita semaksimal mungkin memberikan penjagaan dan perlindungan ini. Agar seluruh
dirinya terjauhkan dari bahaya. Menjaga dan melindungi akal, qolbu, dan
badannya. Akalnya terlindungi dengan pendidikan ilmu pengetahuan bermanfaat.
Juga terjagai dari segala kotoran pemikiran yang mencelakakan.
Qolbunya
terlindungi. Penyakit qolbu yang berbahaya berusaha dicegah tangkal agar tak
diidap. Keraguan terhadap kebenaran, meyakini kebatilan, hasad dengki yang
merusak, lalai dzikrullah yang membinasakan, kesombongan, dan segenap penyakit
qolbu lain sering diabaikan. Padahal, meski tak kasat mata tapi lebih berbahaya
daripada penyakit badan.
Keluarga
melindungi tubuhnya. Tak hanya agar tak celaka di dunia ini, namun lebih utama
adalah agar tak binasa di negeri akherat yang siksaannya abadi. Hanya makanan
halal yang boleh dinikmati. Membiasakan amal taat di setiap saat dan keadaan. Tidak
memanggil laknat Allah dengan tubuh melalui tattoo, membuka aurat, berjalan ala
orang orang sombong durjana, berkata kotor yang menghinakan, dan semua
kedurhakaan kepada tuntunan nabi.
Tapi
inilah kenyataan yang menyedihkan, semakin berkurangnya perhatian orangtua
terhadap keluarga dalam pendidikan dan pembinaan kualitas manusia.
Penulis
: R. Bagus Priyosembodo, Ustadz Guru Ngaji
Foto
: google
Post a Comment