Bekal untuk Musafir Kita




Oleh : Muhammad Edy Susilo

Sesayang-sayangnya pada anak, orangtua tidak akan pernah bisa terus menerus mendekap buah hatinya. Saat mereka masih anak-anak, orangtua relatif masih mudah memberikan pengawasan. Tetapi ketika anak semakin besar dan lingkungan sosialnya bertambah, maka tantangan yang dihadapi orangtua jauh lebih kompleks lagi.

Persoalan  penyimpangan perilaku remaja adalah salah satu hal yang dihadapi orangtua. Memang ini bukan merupakan isu yang baru, tetapi selalu aktual. Dari generasi ke generasi, permasalahan sosial ini selalu muncul dan diperdebatkan, namun nyaris tidak ada solusi yang sempurna. Seperti gelombang di laut, ia datang dan datang lagi.

Penyimpangan perilaku remaja sering disebut sebagai  kenakalan remaja yang dibagi menjadi tiga, yaitu tindakan yang tidak dapat diterima oleh lingkungan sosial karena bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma dalam  masyarakat, seperti memaki, berbohong; tindakan pelanggaran ringan seperti  membolos sekolah atau dari pelajaran tertentu; tindakan pelanggaran berat yang mengarah pada tindakan kriminal, seperti tawuran, mencuri, seks pranikah atau menggunakan narkoba.

Pada umumnya penyimpangan perilaku diukur secara normatif dengan norma budaya, bukan norma agama. Dalam budaya, semuanya bergerak. Tidak ada budaya yang statis. Hal itu berbeda dengan agama yang memberikan panduan yang tetap dari dulu hingga kapan pun. Ambillah contoh pacaran. Saat ini, di masyarakat, pacaran adalah hal yang lumrah. Cermin kenormalan laki-laki dan perempuan. Banyak orangtua akan cemas ketika pada saat remaja anaknya belum memiliki pacar atau dihaluskan menjadi “teman dekat” (Insyaallah bukan pembaca majalah kita ini). Sementara dalam kacamata agama, pacaran adalah hal yang dilarang. Bagaimana mau pacaran kalau hubungan dengan nonmahrom sudah diatur dengan sangat ketat.

Oleh karena itu, dalam pembicaraan ini digunakan agama sebagai patokan. Ini artinya, sangat mungkin jika remaja yang tidak pacaran justru diberi label “menyimpang” secara sosial, tetapi tidak menurut agama. Contoh yang lain adalah fenomena menyontek secara masal dan sistemik pada saat Ujian Nasional beberapa tahun lalu. Ada persetujuan diam-diam sebagian masyarakat atas perilaku ini. Namun, dalam pandangan agama, tidak ada justifikasi apapun untuk membenarkan perilaku menyimpang ini.

Lalu bagaimana mempersiapkan anak-anak untuk hidup di masyarakat mengingat mereka akan memiliki kehidupan sosial sendiri? Formula klasik berlaku: persiapkan sedini mungkin. Anak ibarat musafir yang akan menempuh perjalanan jauh. Apa yang diperlukan musafir selain sebuah bekal? Bekal memiliki arti antisipasif, tidak mendadak apalagi baru disadari di tengah-tengah perjalanan.

Masa kanak-kanak adalah masa emas memberikan bekal itu. Hal-hal seperti keteladanan orang tua akan tetap relevan untuk mengatasi hal ini. Namun keteladanan perlu diberi penekanan (reinforcement) dari orang tua berupa pesan-pesan yang kelak akan menjadi filter kehidupannya. Tak pelak lagi, komunikasi adalah faktor penting untuk menyampaikan hal ini.

Orangtua perlu memberikan pemahaman sesuai dengan perkembangan anak. Bagian paling prinsip, substantif seperti kejujuran, kebaikan dan ketaatan pada Allah bisa dijelaskan sesuai dengan kemampuan anak untuk mencerna. Kisah-kisah para nabi juga perlu diperkenalkan karena banyak contoh perilaku menyimpang yang penting diambil pelajarannya.

Hal yang tidak boleh dilupakan adalah adanya media yang bisa menjadi sumber belajar bagi anak. Televisi haruslah dalam kendali orangtua. Hindarkan anak dari tayangan-tayangan yang pada gilirannya hanya akan mengotori pikiran mereka. Pun orangtua tidak usah merasa bangga bisa memberikan gadget—apalagi yang terkoneksi dengan internet—bagi  anak-anak yang masih belia. Lebih baik dianggap orang tua “jadul” dari pada  menjadi orang tua modern yang ujung-ujungnya malah menjerumuskan anak.

Seluruh upaya lakukan untuk memberikan bekal harus didasari sebuah pengakuan bahwa orangtua hanya sebatas berusaha. Harapan kita adalah semoga Allah akan selalu menjaga musafir kita, di mana pun kelak mereka berada.

Penulis : Muhammad Edy Susilo, Dosen Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Yogyakarta
Foto: google

Powered by Blogger.
close