Generasi Matang Semu




Oleh : Galih Setiawan

Menurut data lembaga riset Statista yang dirilis situs okezone.com, sebanyak 17 persen anak berusia di bawah delapan tahun di Amerika Serikat (AS) menggunakan komputer tablet atau smartphone setiap hari. Selain 17 persen anak menggunakan perangkat mobile, beberapa lainnya aktif dalam menggunakan komputer, bermain game mobile, bermain video game dan membaca eBook. Sebelumnya juga diberitakan, lembaga studi lain merilis hasil survei bahwa 38 persen anak di bawah dua tahun sudah akrab dengan smartphone. Dua dari lima anak sudah diperkenalkan smartphone milik orangtuanya meski digunakan hanya sebagai mainan.

Tak banyak juga orangtua yang menyadari bahwa memberi gadget pada anak-anak mereka justru dapat mengancam masa depan anak itu sendiri, baik dari segi kesehatan, sosial maupun prestasi yang diraih anak tersebut.

Berdasarkan situs kompas.com, dari riset yang diprakarsai Abertawe Bro Morgannwg University (ABMU) Health Board, setelah jumlah anak yang dirawat akibat sakit leher dan tulang punggung meningkat dua kali lipat hanya dalam waktu enam bulan. Dalam risetnya, peneliti menemukan, 64 persen dari 204 responden anak berusia 7-18 tahun, menderita sakit punggung. Namun, hampir 90 persen tidak mengatakan kepada siapa pun terkait sakit yang diderita. Sementara itu, 72 persen anak usia sekolah dasar mengakui mengalami sakit punggung. Tidak hanya dari segi kesehatan, penggunaan gadget pada anak usia dini juga dapat menimbulkan dampak negatif pada bidang sosial.

Menurut data yang dilansir situs suaramerdeka.com, di Jepang, gejala kecanduan gadget ini dikenal sebagai hikikomuri, dan telah menjadi gejala sosial yang serius. Anak dengan hikikomuri cenderung menarik diri dari pergaulan dan interaksi dengan dunia nyata dan lebih memilih untuk berinteraksi di dunia maya. Mereka menjadi asosial.

Hidup di era gadget membuat anak-anak masa kini rentan menjadi generasi 'matang semu'. Secara fisik atau penampilan luar, mungkin anak-anak sekarang terlihat lebih rapi dan cerdas. Namun, secara kejiwaan mentalnya belum berkembang.

Anak-anak yang sehari-hari akrab dengan gadget cenderung kurang bisa memahami perasaan orang lain dan bahkan perasaannya sendiri. Hal ini terjadi karena anak merasa lebih nyaman saat bermain gadget terutama dalam aplikasi media sosial. Saat di dunia nyata, ia akan mudah melawan nasihat dari orangtua dan gurunya karena ia lebih memikirkan kepentingannya sendiri.

Sayangnya, banyak orangtua terlanjur percaya bahwa saat tubuh anak berkembang menjadi besar maka mentalnya pun juga otomatis ikut besar. Padahal tidak demikian. Selain diberikan asupan gizi, anak juga harus dilatih EQ atau kecerdasan emosinya.

EQ merupakan faktor yang paling mendasar dari perkembangan kemampuan bersosialisasi dan daya pikir anak. Dibandingkan anak-anak zaman dulu, perkembangan fisik anak zaman sekarang jauh lebih baik. Dia tidak mengalami masalah fisik karena dibesarkan dalam lingkungan yang baik dan tidak kekurangan asupan makanan. Yang menjadi masalah yaitu jiwanya tidak berkembang sehat sebaik badannya.

Baik tidaknya tumbuh kembang anak secara fisik maupun mental bisa dilihat sejak usia empat tahun. Periode tersebut bisa menentukan apakah anak akan tumbuh sempurna atau justru 'matang semu'. Periode ini sebaiknya dimanfaatkan orangtua untuk memberikan pola pengasuhan yang baik bagi anak sekaligus menghindari pemakaian gadget yang berlebihan.

Gadget memang mampu membuat komunikasi jadi lebih mudah. Akan tetapi di sisi lain, gadget sering disalahgunakan untuk mengakses dan menyebarkan informasi yang tidak pantas untuk dikonsumsi. Informasi itu membuat kedewasaan biologis seperti dikarbit, sementara kedewasaan emosional justru melambat. Rendahnya kedewasaan emosional itu dapat dilihat dari mudahnya para remaja menjadi galau oleh hal-hal yang remeh-temeh. Mereka mudah mengeluh dan putus asa pada persoalan sepele yang dihadapinya. Miris, ya itulah yang kata yang pantas menggambarkan keadaan generasi penerus saat ini. Di usia yang masih sangat belia mereka sudah dikenalkan oleh sesuatu yang dapat merusak diri mereka sendiri.

Gadget bukan terlarang. Tapi kita perlu menyiapkan mereka dan kita sendiri agar kehadirannya menjadi jalan kebaikan. Gadget benar-benar berfungsi sebagai teknologi informasi dan komunikasi.

Kita semua sepakat bahwa tidak selamanya teknologi terutama gadget memberikan dampak buruk bagi anak-anak. Jika dimanfaatkan secara tepat guna gadget justru akan memberikan keuntungan yang sangat besar bagi penggunanya. Sudah saatnya orangtua sadar dan peduli, karena semua berawal dari orangtua. Didikan orangtualah sebagai filter awal bagi anak-anaknya. Jika generasi penerus rusak, bagaimanakah dunia ini di masa depan?

Penulis: Galih Setiawan, Redaktur Majalah Fahma
Foto: google
Powered by Blogger.
close