Kekuatan Visual




Oleh: Dr. Ali Mahmudi

Imam Bukhori meriwayatkan bahwa Nabi menggambar segiempat dan sebuah garis lurus yang menembus keluar sisi segiempat itu. Nabi juga menggambar garis-garis pendek yang memotong garis lurus itu. Selanjutnya, kepada para sahabat, Nabi menjelaskan bahwa segiempat itu menggambarkan batas usia atau ajal manusia, sedangkan garis yang menembus batas itu adalah cita-citanya. Adapun garis-garis pendek yang memotong itu adalah rintangan-rintangan yang selalu menghadang manusia. Apabila manusia lolos dari satu rintangan, ia akan menghadapi rintangan berikutnya, begitu seterusnya.

Penulis tak hendak mengurai substansi hadits di atas, melainkan lebih memfokuskan pada bagaimana Nabi, yang juga sebagai guru, memberikan penjelasan yang sangat baik kepada para sahabat, murid-murid beliau. Nabi menggunakan skema sederhana untuk memvisualisasi konsep abstrak agar lebih mudah dipahami. Dalam konteks pembelajaran, citra visual, seperti skema, gambar, bagan, tabel, atau diagram, memang berperan sangat penting, terlebih pada anak usia dini, mengingat kemampuan berpikir abstrak mereka belum berkembang sempurna. Secara visual, konsep atau pengetahuan yang bersifat abstrak dan kompleks dapat dikomunikasikan secara lebih sederhana.

Salah satu cara untuk memvisualisasi konsep yang bersifat abstrak adalah dengan skema konsep. Skema konsep, atau bisa juga disebut peta konsep, adalah skema yang menyajikan konsep-konsep penting beserta keterkaitannya. Keterkaitan tersebut dapat berwujud hubungan sebab-akibat, siklus, atau hubungan prasyarat. Dengan skema konsep, suatu pembelajaran akan lebih bermakna karena memberikan pemahaman kepada anak bahwa pengetahuan-pengetahuan yang mereka pelajari tidak saling terpisah, melainkan saling bertalian dan membentuk jalinan pengetahuan yang utuh. Lagi pula, proses berpikir akan lebih mudah dilakukan terhadap informasi yang disajikan dalam beragam representasi yang melibatkan banyak indera.

Penggunaan skema konsep semakin sesuai bagi anak bertipe belajar visual spasial (visual spatial learner). Anak demikian akan lebih mudah memahami informasi atau pengetahuan yang disajikan secara visual dan simultan, tidak terpisah-pisah. Sebaliknya, anak demikian pada umumnya akan mengalami kesulitan untuk memahami informasi yang disajikan secara sekuensial, terlebih bila disajikan secara verbal.

Penggunaan skema konsep berpotensi mempermudah anak memahami sekaligus mengingat konsep-konsep yang mereka pelajari. Bila diibaratkan, skema konsep seperti perpustakaan yang memiliki ribuan buku yang diklasifikasikan dengan baik. Menemukan sebuah buku berkarakteristik jelas di perpustakaan tersebut lebih mudah dilakukan daripada menemukan buku serupa dari setumpuk buku tak beraturan meski tak seberapa. Demikian pula, mengingat suatu konsep juga lebih mudah dilakukan bila konsep tersebut disajikan secara skematis bersama konsep-konsep lain yang terkait. Memang, mengingat sesuatu informasi akan lebih mudah bila yang diingat tersebut dikaitkan dengan informasi lain yang telah dikenal.

Dalam praktik pembelajaran, anak perlu dilibatkan secara aktif dalam pembuatan skema konsep. Guru dapat mengawali dengan menuliskan nama suatu konsep di papan tulis. Selanjutnya anak-anak diminta untuk mengidentifikasi konsep-konsep lain yang terkait beserta jenis keterkaitannya. Untuk lebih memperkaya, dapat digunakan berbagai warna, simbol, atau penanda lain untuk memberikan penekanan pada konsep atau pola hubungan tertentu.

Anak perlu diberikan kesempatan untuk membuat skema konsep mereka sendiri. Anak-anak secara mandiri mengidentifikasi konsep-konsep penting dan selanjutnya menemukan keterkaitannya. Dalam hal ini perhatian tidak difokuskan pada aspek artistik, melainkan lebih pada kelengkapan dan kesinambungan antarkonsep. Bagi guru, aktivitas siswa membuat skema konsep merupakan cara yang baik untuk mengidentifikasi ketidakpahaman anak. Selain itu, pembuatan skema konsep juga merupakan salah satu bentuk penilaian kinerja anak dalam mendemonstrasikan pemahamannya secara visual dan simultan.

Penggunaan skema konsep dapat dibudayakan, setidaknya untuk memberikan variasi, sehingga pembelajaran menjadi lebih kaya, tidak membosankan.

Penulis: Dr. Ali Mahmudi, Dosen Ilmu Matematika Universitas Negeri Yogyakarta
Powered by Blogger.
close