Mengapa Anak Mengabaikan Nasehat Orangtua?
oleh
: Mohammad Fauzil Adhim
Pertanyaan yang perlu
kita jawab dan renungkan adalah, mengapa pada masa dulu orangtua dapat memberi
nasehat dan memerintah anak kapan saja? Bahkan saat baru pulang sekolah,anak
tetap mentaati perintah dan mendengarkan nasehat orangtua. Tak ada keluh-kesah,
tak ada penolakan. Bahwa sekali masa anak merasa berat dengan perintah
orangtua, itu perkara yang wajar. Tetapi pada umumnya anak mendengar
nasehat dan mentaati perintah orangtua meskipun dia sedang dalam keadaan capek
dan baru saja tiba di rumah. Lalu apa bedanya dengan anak-anak di masa
sekarang?
Sebagian orang
mengatakan bahwa anak zaman sekarang berbeda dengan anak zaman dulu. Tampaknya
pernyataan ini benar, tetapi jika kita meyakini begitu saja, sesungguhnya kita
hampir-hampir tergelincir dalam syubhat yang besar. Bukankah setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fithrah? Ini berlaku untuk masa dulu, masa kini maupun
masa yang akan datang. Artinya, di zaman apa pun anak lahir dalam keadaan yang
sama. Orangtuanya yang mempengaruhi dan menentukan akan seperti apa
anak-anaknya kelak.
Ini berarti, jika
anak-anak kita kurang menghormati nasehat orangtua dan tidak memperhatikan
pengajaran yang kita berikan kepada mereka, yang pertama kali perlu kita
lakukan adalah memeriksa diri sendiri. Kita menelisik apa yang salah dalam diri
kita sebelum kita berusaha memahami apa yang terjadi pada anak.
Raih Kepercayaannya Sebelum Berkomunikasi
Pergilah sejenak ke Masjid
Nabawi dan saksikan bagaimana orang-orang dengan tekun menuntut ilmu dari para
syaikh. Mereka duduk sembari menyimak baik-baik uraian syaikh tentang ilmu yang
sedang diajarkan. Seorang syaikh duduk dengan tenang, menyampaikan ilmu dengan
tenang tanpa teknik penyampaian yang atraktif dan memukau. Tetapi mengapa para
penuntut ilmu tetap menyimaknya sepenuh kesungguhan?
Serupa perhatian para
penuntut ilmu kepada seorang syaikh yang mengajar dengan tenang tanpa teknik
penyampaian yang memukau, begitu pula perhatian anak-anak kepada kita jika
mereka memiliki sekurangnya dua hal. Apa itu? Pertama, adanya
kepercayaan (tsiqah) yang sangat kuat dari anak kepada
orangtua atau dari murid kepada gurunya. Kedua, keyakinan
bahwa apa yang disampaikan oleh orangtua maupun guru merupakan kebaikan yang
sangat berharga.
Kepercayaan yang besar
membuat anak mau mendengarkan dengan baik setiap yang kita sampaikan. Mereka
menerimanya. Adapun jika ada hal-hal yang menurut pengetahuan mereka
menyelisihi kebenaran, mereka akan bertanya untuk memperoleh penjelasan. Jadi,
bukan langsung menolaknya.
Sangat berbeda jika
mereka tidak percaya kepada orangtua. Nasehat yang baik pun akan mereka
ragukan. Atau mereka mengetahui bahwa itu baik, tetapi mereka tidak menerima
nasehat tersebut karena menganggap orangtua tidak dapat dipercaya. Itu
sebabnya, meraih kepercayaan anak jauh lebih penting daripada memperoleh
perhatian mereka. Jika anak percaya, mereka mudah memperhatikan. Sebaliknya,
sekedar memperhatikan pada saat-saat tertentu, tak membuat membuat mereka serta
merta percaya kepada kita.
Selebihnya, keyakinan
bahwa apa yang kita sampaikan merupakan kebaikan yang sangat berharga buat
mereka akan membuat anak bersemangat menyimak dan bersungguh-sungguh
memperhatikan. Keyakinan ini dapat tumbuh apabila anak percaya bahwa kita tulus
dan sungguh-sungguh menginginkan mereka menjadi baik. Adakalanya kita member
nasehat dengan sungguh-sungguh, tetapi anak merasakan bahwa itu bukan untuk
kebaikan anak, melainkan hanya untuk kepentingan orangtua. Itu sebabnya, kita
perlu menunjukkan bahwa kita menasehati dan bersungguh-sungguh mendidiknya
tidak lain adalah untuk kebaikan anak. Bahkan ketika menasehatkan tentang birrul
walidain pun, itu tetap untuk kebaikan anak di dunia dan kelak di
akhirat. Jadi bukan semata karena kita ingin dihormati anak.
Lalu apa yang perlu
kita lakukan agar anak mempercayai kita? Mari kita renungi firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’
ayat 9:“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (qaulan sadiidan).”
Apa yang dapat kita
petik dari ayat tersebut? Salah satu kunci mendidik anak adalah berbicara
dengan perkataan yang benar (qaulan sadiidan). Kita berbicara jujur
dan apa adanya kepada anak-anak. Tidak menutup-nutupi kebenaran, tidak pula
mengandung kebohongan.
Berbicara dengan
perkataan yang benar (qaulan sadiidan) membawa konsekuensi
kesediaan untuk mengakui kesalahan. Berlapang hatilah jika anak kita
mengingatkan dan mengoreksi kesalahan. Berterima-kasihlah, karena yang ia
lakukan sesungguhnya merupakan kebaikan dan menjauhkan kita dari kesalahan.
Jangan menutupi-nutupi seraya menyangkalnya, padahal anak telah tahu kesalahan
yang kita perbuat. Misalnya, teguran anak saat kita makan sambil berdiri.
Semoga catatan ringkas
ini bermanfaat dan barakah.
Penulis:
Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku Segenggam Iman Anak Kita
Foto: google
Post a Comment