Jadi Orangtua yang Baik Saja Belum Cukup
Oleh:
Nur Muthmainnah
Kita
semua, pasti tidak akan menyangkal bahwa keteladanan adalah metode yang paling
efektif dalam pendidikan. Namun, perlu kita ingat juga, bahwa keteladanan pun
butuh penjelasan, butuh arahan, butuh pemahaman. Apalagi terhadap anak kecil,
amat penting bagi orang tua untuk menjelaskan alasan dari setiap tindakan.
Mengapa
begini, mengapa harus begitu, dan sebagainya. Hanya saja, terkadang orangtua
tidak cukup sabar untuk menjawab berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh
putera-puteri kecilnya. Pada akhirnya, kondisi seperti ini amat memungkinkan
mematikan rasa ingin tahu anak-anak kita yang begitu besarnya.
Suatu
perbuatan baik, yang sudah dilakukan oleh orangtua, namun “lupa” untuk mentransformasikannya
kepada anak-anak mereka akan membuat
orangtua akan lebih sering menjadi "pemeran utama". Sedangkan
anak-anak, hanya figuran yang lambat laun tersisihkan perannya.
Bisa
jadi atas dasar sayang, bisa jadi atas dasar tidak tega, bisa saja karena orangtua
merasa "masih kuat dan masih bisa", dan sebagainya. Misalnya: orangtua
rajin shalat, tapi anaknya tak dibangunkan untuk shalat shubuh, karena khawatir
istirahat sang anak terganggu. Atau, sang orangtua amat eksis, banyak peran dan
kontribusinya di masyarakat. Tapi di
sisi lain, lupa untuk mengajarkan anaknya untuk bisa percaya diri. Bahkan
sekadar menyambut tamu yang datang ke rumah.
Seorang
ibu yang jago masak dan menata rumah, namun tidak memberikan kesempatan pada
anaknya untuk memiliki keterampilan yang sama. Yang ada, sang ibu lebih memilih
sibuk sendiri daripada dibantu oleh anaknya, karena khawatir hasilnya tak
sesuai dengan standar yang sang ibu.
Contoh
di atas, hanya secuil dari kenyataan di lapangan. Hal-hal seperti inilah yang
dinamakan "kebaikan yang menjerumuskan." Orangtua sibuk berbuat
kebaikan, namun tidak memberikan anak-anaknya sebuah pembelajaran dan
pendidikan. Jadi, yang ingin penulis tekankan di sini adalah saat orangtua
baik, anaknya belum tentu baik juga. Orangtua dengan sikap-sikap yang penulis
contohkan sebelumnya, memanglah orangtua yang baik, namun bisa jadi belum cukup
ilmu. Bisa saja orangtua berpendidikan tinggi, berpengetahuan agama banyak,
namun ternyata belum mempunyai cukup ilmu perihal mendidik anak-anak mereka.
Istilah kerennya, ilmu parenting.
Bagi
kita sebagai umat Islam, akan cenderung memilih islamic parenting. Sebab, bagaimana pun
syariat Islam (yang ada pada Al-Qur’an, hadist/ sunnah, shiroh) itu adalah
"induk" dari setiap ilmu. Ilmu masa kini hanyalah hasil
pengembangannya. Inti dan awal dari
islamic parenting sendiri adalah menanamkan akidah kepada anak-anak
kita. Buatlah anak-anak paham bahwa Allah segalanya. Bahkan cinta Allah itu
lebih besar daripda cinta orang tua kepada anaknya. Tanamkan rasa cinta dan
rasa takut yang karenaNya.
Anak-anak
itu butuh dididik serta diberikan pemahaman. Iman saja tidak bisa
"sekonyong-konyong" diwariskan.. begitupun dengan kebaikan. Sebab,
ada suatu proses yang harus dijalankan. Anak dari nabi Nuh atau anak nabi Luth,
apakah mereka otomatis mewarisi keimanan ayahnya? Tidak! Namun, untuk kisah
ini, para nabi tersebut bukan tidak bisa mendidik anak mereka, upaya maksimal
pun telah dilakukan. Faktor penentu lainnya adalah di karenakan anak para nabi
tersebut telah dewasa, maka kisah ini masuk pada ranah "pilihan
hidup".
Ternyata
menjadi orangtua yang baik (untuk diri sendiri) saja tidak cukup. Jadilah orangtua
yang mampu mentransfer kebaikan itu kepada anak-anak kita, dengan mendidik
mereka juga. Bila kebingungan bagaimana caranya, tandanya ilmu kita yang memang
masih harus di up-grade.
Gali dan pelajari kembali ilmu tentang pengasuhan anak agar keteladan kita tak
tersia dan menghasilkan jejak yang nyata.
Penulis:
Nur Muthmainnah, Pemerhati dunia anak
Foto: https://hijapedia.com
Post a Comment