Sekolah yang Mencerdaskan
Mencerdaskan
anak bukanlah tugas utama sekolah. Tugas sekolah adalah membentuk pribadi yang
memiliki integritas moral sangat tinggi, berakhlak mulia dan produktif yang
berpijak pada fondasi akidah. Bersebab pada kuatnya akidah, sekolah juga
berkewajiban membakar semangat mereka sehingga akan lahir pemuda‐pemuda yang hidup jiwanya dan jelas arah
hidupnya. Begitu mereka memiliki motivasi yang kuat dan semangat yang menyala‐nyala, maka mereka akan memiliki energi besar
untuk mencapai apa yang sungguh-sungguh bermanfaat baginya. Ia memiliki daya
tahan untuk terus gigih ketika yang lain sudah mulai berguguran. Ia memperoleh
makna atas setiap tindakan yang secara sengaja dilakukannya untuk mencapai apa
yang baik dan penting. Insya‐Allah!
Semangat
yang berkobar‐kobar
memungkinkan seseorang mencapai tingkat kecerdasan yang tinggi dan bermanfaat.
Saya perlu menambahkan kata bermanfaat, karena kepekaan terhadap apa yang
sungguh‐sungguh bermanfaat bagi diri sendiri dan umat
manusia, hari ini sangat sulit kita dapati (bahkan mungkin pada diri kita
sendiri). Sebab, mereka tidak memperoleh pengalaman belajar yang secara sengaja
menumbuhkan kepekaannya. Alih‐alih
mengembangkan kapasitas mental, anak‐anak
itu justru mengalami penganiayaan akademik dalam bentuk pembebanan target‐target penguasaan secara kognitif materi‐materi pelajaran, terutama yang menjadi
materi ujian nasional. Padahal, penguasaan materi pelajaran seharusnya merupakan
akibat saja dari berkobarnya semangat dan kepekaan terhadap apa yang bermanfaat
bagi umat manusia.
Mengapa
anak‐anak tidak peka terhadap apa yang bermanfaat
bagi dirinya? Karena sekolah tidak mengajari mereka tujuan hidup, empati dan
integritas. Mereka juga tidak belajar merumuskan visi hidup yang jelas. Mereka
hanya dipacu untuk berhasil menciptakan nilai bagus saat ujian. Ironisnya,
tidak sedikit orangtua maupun sekolah yang masih berorientasi pada ujian,
sehingga tidak mendorong anak untuk “belajar” kecuali saat menghadapi ujian.
Mereka
tidak mendorong anak haus ilmu dan mengembangkan kecakapan yang bermanfaat.
Apatah lagi alasan yang menggerakkan diri untuk berbuat sehingga setiap hal
jadi bermakna, sangat jarang disentuh.
Para
orangtua dan guru sering menyuruh anak belajar agar pintar. Tetapi mereka tidak
mengajarkan untuk apa pintar, atau kepintaran itu seharusnya dipergunakan untuk
apa. Lebih ironis lagi, pintar itu sama dengan angka 8, angka 9 untuk yang
sangat pintar dan 10 untuk yang luar biasa pintar. Darimana angka itu
diperoleh, tidak penting lagi. Dan di sinilah bencana itu bermula. Anak belajar
melakukan penipuan bernama mencontek –satu bentuk kejahatan yang lebih sering
kita sebut kelalaian.
Sudah
saatnya kita merenungkan kembali pendidikan kita. Tugas sekolah adalah
mengantarkan anak didik untuk menjadi manusia, mengerti tugas hidupnya dan
mampu memberi manfaat bagi umat manusia. Kita rangsang mereka untuk mampu
memegangi nilai hidup yang menggerakkan mereka untuk bertindak. Artinya, nilai
hidup itu haruslah menjadi daya penggerak bagi hidup mereka. Bukan sekadar
untuk menjadi bahan hafalan yang dicerna secara kognitif belaka. Lebih‐lebih jika hanya pada tataran kognitif
terendah.
Sekadar
menyegarkan ingatan, Benjamin S. Bloom membagi secara berjenjang kemampuan
kognitif dalam sebuah taksonomi yang dikenal dengan Taksonomi Bloom. Ada enam
jenjang, yakni pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan
jenjang tertinggi adalah penilaian. Kemampuan taraf terendah lebih mengacu pada
kemampuan mengingat apa yang telah dipelajari secara tepat. Pada taraf ini,
meskipun kemampuan mengingatnya sangat tinggi sehingga mampu menjawab soal‐soal yang diajukan, tidak membuat seseorang
mampu memahami prinsip‐prinsip
serta mengembangkan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dengan mudah
akan mengenali dan menguasai apa‐apa
yang prinsipnya sama maupun mirip.
Bimbingan
belajar intensif umumnya hanya berurusan dengan kemampuan kognitif jenjang
terendah. Mereka terlihat pandai, tapi membawa resiko serius, yakni tidak
berkembangnya kemampuan kognitif pada jenjang di atasnya. Inilah yang
sebenarnya tidak boleh terjadi! Itu sebabnya sekolah harus berpikir serius
bagaimana memacu prestasi siswa tanpa melakukan penganiayaan akademik, yakni
proses pembelajaran yang hanya memperhatikan kemampuan kognitif terendah
sebagai pembebanan. Sangat berbeda nilainya antara pembebanan dengan motivasi.
Mengejar anjing membangkitkan energi ketika nyaris berhasil. Tetapi dikejar
anjing sangat menguras tenaga dan membunuh antusiasme, justru ketika berhasil.
Tentu
saja bukan berarti ujian akhir nasional (UAN) tidak boleh ada. Jika sekolah
memang baik, tidak ada alasan untuk menangis mendengar genderang UAN ditabuh.
Justru kita ditantang untuk menunjukkan bahwa pola pendidikan yang kita
jalankan, mampu mengantarkan siswa meraih sukses secara akademik. Nilai ujian
memang tidak boleh menjadi tujuan. Ini musibah besar kalau siswa belajar di
sekolah selama enam atau tiga tahun hanya untuk mengejar nilai tiga mata
pelajaran. Tapi UAN merupakan parameter sederhana seberapa baik kita menanamkan
dasar‐dasar kemampuan akademik pada siswa. Artinya,
prestasi cemerlang di UAN hanyalah konsekuensi logis pendidikan yang baik.
Lalu
apa yang harus kita lakukan agar anak‐anak
memiliki visi hidup yang kuat? Apa yang harus kita rombak dalam proses
pendidikan di sekolah? Apakah perlu melakukan reformasi total pada sistem
pendidikan kita?
Tidak.
Reformasi tanpa melakukan perubahan cara pandang dan sikap, hampir pasti tidak
akan membawa hasil yang memadai. Perlu upaya terencana untuk mengubah cara
pandang dan sikap pelaksana pendidikan secara keseluruhan, terutama guru, tidak
terkecuali orangtua sebagai bagian yang tak terpisahkan.
Penulis: Mohammad Fauzil Adhim, Penulis buku
Segenggam Iman Anak Kita
Post a Comment