Semangat Nan Menyala
Oleh: R. Bagus
Priyosembodo
Para cerdik pandai bergegas mendekati
ahli ilmu agar bisa mendapat bagian ilmu yang banyak. Syaikh Abdullah bin Hamud
Az Zubaidi belajar kepada Syaikh Abu Ali Al Qaali. Abu Ali memiliki kandang
ternak di samping rumahnya. Beliau mengikat tunggangannya di sana. Suatu
ketika, murid beliau, Abdullah bin Hamud Az Zubaidi, tidur di kandang ternaknya
agar bisa mendahului murid-murid yang lain menjumpai sang guru sebelum mereka
datang. Agar bisa mengajukan pertanyaan sebanyak mungkin sebelum orang
berdatangan. Allah menakdirkan Abu Ali keluar dari rumahnya sebelum terbit
fajar. Az Zubaidi mengetahui hal tersebut dan langsung berdiri mengikutinya di
kegelapan malam. Merasa dirinya dibuntuti oleh seseorang dan khawatir kalau itu
seorang pencuri yang ingin mencelakai dirinya, Abu Ali berteriak, “Celaka,
siapa Anda?”. Az Zubaidi berkata, “aku muridmu, Az Zubaidi”. (Inaabatur
Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/119).
Bahkan dalam keterbatasan, orang orang
mulia bersemangat mencari ilmu. Imam Asy Syafi’i berkisah, “Saya seorang yatim
yang tinggal bersama ibu saya. Beliau menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang
ada di masjid). Beliau tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang
pengajar sebagai gaji mengajari saya. Saya mendengar hadits atau pelajaran dari
sang pengajar, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu
untuk membeli kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya
mengambilnya dan menulis di atasnya. Apabila sudah penuh tulisannya, saya
menaruhnya di dalam botol yang sudah tua” (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhilihi,
Ibnu ‘Abdil Barr, 1/98).
Jarak yang jauh hingga perlu ditempuh
lama pun bukan hal bisa meredupkan semangat ulama kita. Abu Ad Darda radhiallahu’ahu mengatakan. “Seandainya
saya mendapatkan satu ayat dari Al Qur’an yang tidak saya pahami dan tidak ada
seorang pun yang bisa mengajarkannya kecuali orang yang berada di Barkul Ghamad
(yang jaraknya 5 malam perjalanan dari Mekkah), niscaya aku akan menjumpainya.”
Sa’id bin Al Musayyab juga mengatakan, “Saya terbiasa melakukan rihlah
berhari-hari untuk mendapatkan satu hadits,” (Al Bidayah Wan Nihayah,
Ibnu Katsir, 9/100).
Imam Baqi bin Makhlad melakukan rihlah
dua kali: dari Mesir ke Syam (sekitar Suriah) dan dari Hijaz (sekitar Mekkah)
ke Baghdad (Irak) untuk menuntut ilmu agama. Rihlah pertama selama 14 tahun dan
yang kedua selama 20 tahun berturut-turut (Tadzkiratul Huffadz, 2/630).
Ilmu Syar’i adalah cahaya penerang bagi kehidupan seorang hamba di
dunia menuju ke alam akhirat. Maka, barangsiapa menuntut ilmu syar’i dengan
niat ikhlas karena Allah dan dengan tujuan agar meraih keridhoan-Nya semata,
niscaya ia tidak akan berhenti dan bosan dari menuntut ilmu syar’i sebelum
kematian menjemputnya.
Imam Ahmad, begitu bersemangat dan istiqomah. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah selalu
membawa pena dan tinta untuk mencatat hadits dan faedah ilmiyah, meskipun beliau
telah lanjut usia. Maka ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Sampai kapankah
engkau berbuat demikian?” Beliau jawab, “Hingga aku masuk ke liang kubur.”.
(Lihat Manaaqibu Ahmad karya Ibnul Jauzi hal.31, dan Talbiisu Ibliis, karya
Ibnul Jauzi hal.400). Beliau juga pernah berkata, “Aku akan terus-menerus
menuntut ilmu agama sampai aku masuk ke liang kubur.”.
Abu Ja’far Ath-Thobari rahimahullah
menjelang wafatnya berkata: “Sepantasnya bagi seorang hamba agar tidak
meninggalkan (kewajiban) menuntut ilmu sampai ia mati.” (Diriwayatkan oleh Ibnu
Asakir di dlm Tarikh Dimasyqo juz.52 hal.199. Lihat pula Al-Jaliisu Ash-Shoolih
karya Al-Mu’afi bin Zakariya III/222).
Ada seseorang bertanya kepada Abdullah bin Al-Mubarok (ulama
tabi’in) rahimahullah, “Sampai kapan
engkau menulis (mempelajari) hadits?” Beliau jawab: “Selagi masih ada kalimat
bermanfaat yang belum aku catat.” (Lihat Al-Jaami’ Li Akhlaaqi Ar-Roowi,
karya Al-Khothib Al-Baghdadi IV/419). Beliau tidak merasa kenyang hanya karena
sudah memiliki banyak. Juga tidak terhalang oleh rasa telah menjadi yang
terpandai.
Qotadah bin Da’amah As-sadusi rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya setan tidak membiarkan lolos seorang pun di antara kalian. Bahkan
ia datang melalui pintu ilmu. Setan membisikkan, “Untuk apa kamu terus menuntut
ilmu? Seandainya kamu mengamalkan apa yang telah kamu dengar, niscaya itu cukup
bagimu.” Qotadah berkata: Seandainya ada orang yang boleh merasa cukup dengan
ilmunya, niscaya Musa ‘alaihis salam adalah orang yang paling layak
merasa cukup dengan ilmunya. Akan tetapi Musa berkata kepada Khidr (yang
artinya), “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau bisa mengajarkan kepadaku
kebenaran yang diajarkan Allah kepadamu.” (QS. al-Kahfi: 66).” (Lihat Syarhu
Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/136]).
Para imam merasa perlu terus mencari ilmu. Maka orang orang awam
lebih patut untuk merasa lebih butuh kepada ilmu.
Penulis : R.
Bagus Priyosembodo, Ustadz Guru Ngaji
Foto: google
Post a Comment