Setiap Murid Itu Beda
Oleh : Atika Irmayani
Namanya Hendi, seorang anak usia 10
tahun yang duduk di kelas 5 SD. Sebagai wali kelas, saya memperhatikan
bagaimana Hendi terlihat sangat malas mengikuti pelajaran dan menghafal.
Beberapa guru juga mengeluh tentang betapa susahnya Hendi menerima pelajaran.
Saya sendiri hampir putus asa untuk menasehati Hendi. Hingga suatu siang saya
bertamu ke rumahnya. Sang ibu menyambut di depan rumah. Tanpa basa-basi Ia lalu
bercerita bagaimana Hendi sangat malas untuk pergi ke sekolah karena ia hanya
bercita-cita menjadi seorang sopir. Padahal, mereka adalah keluarga kaya. Saya
tertegun beberapa saat. Tanpa beban, sang ibu juga bercerita bagaimana Hendi di
usianya yang masih belia sangat rajin mencari uang. Ia bekerja mengangkat batu
bata kering di tempat sang kakek dan di akhir minggu ia mendapatkan upah 50
ribu rupiah. Siang itu ia mengajak ibunya untuk pergi makan nasi goreng dengan
wajah berbinar. Seketika saya terenyuh. Saya benar-benar tidak mengenal Hendi.
Setiap pulang sekolah, Hendi memiliki
kegiatan rutin yaitu menemani seorang nenek yang hidup sebatang kara di
belakang rumahnya. Ia bertugas untuk memenuhi keperluan sang nenek. Membeli
makanan di warung, dan kebutuhan lain yang diminta. Nenek itu bukan
keluarganya, tapi Hendi begitu peduli. Saya kembali merasa ditampar. Hendi
bahkan sudah berkata pada ibunya kalau ia tidak menginginkan apapun. Ia hanya
mau dibelikan sebuah truk Fuso saat sudah lulus SMA. sudah, itu saja cukup.
Selain itu Hendi juga dikenal sangat dermawan kepada kawan dan orang-orang di
sekitarnya. Jika ia memiliki makanan sedang kawannya tidak, maka tanpa disuruh
ia akan membagi makanannya. Ia juga anak yang sangat rajin menabung. Ia
memiliki celengan plastik yang sudah penuh dengan uang. Ia mendapatkan uang
dari bekerja serabutan setelah sekolah. Ia senang menolong tetangga di belakang
rumahnya. lalu keikhlasannya menolong dibalas dengan uang.
Ah.., Hendi, saya baru tahu bahwa
kecerdasan yang tertanam pada hatimu melebihi apa yang selama ini saya yakini.
Hendi sebenarnya adalah anak yang sangat baik dan memiliki kecerdasan sosial
yang tinggi. Tapi selama ini saya tidak dapat melihat itu karena mata saya
dibutakan oleh dogma bahwa nilai sempurna dalam setiap mata pelajaran adalah
kecerdasan yang hakiki.
Saya merasa harus meminta maaf pada
Hendi karena prasangka saya selama ini. Dia begitu naif dan tulus. tapi saya
mengecamnya dengan tuduhan malas dan tidak mau belajar. padahal ia adalah
seorang visioner, ia sudah memiliki cita-cita yang jelas dan terarah.
pendidikan formal bukanlah hal yang ia kuasai dan ia senangi. Passion-nya ada
pada belajar secara langsung di tengah masyarakat. Ia bukan penggila teori. Ia
belajar dengan bekerja. Ia belajar dengan menolong orang di sekitarnya. Hendi
dengan caranya sendiri telah mengajarkan pada saya bahwa bermanfaat bagi sesama
tidak melulu harus menunggu lulus dari bangku sekolah dan menjadi orang
"sukses". Kita bisa menolong siapapun tanpa harus memiliki gelar.
Kita dapat bermanfaat untuk orang lain tanpa perlu menduduki jabatan.
Penulis: Atika Irmayani, Pendidik
di SDIT Al Hasanah Bengkulu
Foto: google
Post a Comment