Harta Amanah
Oleh: Dra Asnurul Hidayati
Tiga puluh tahun yang lalu, Farrukh meninggalkan istrinya yang sedang
hamil untuk jihad fi sabilillah ke Bukhara bersama muslimin lainnya. Kini
Farrukh telah kembali ke rumahnya di Madinah dan bertemu dengan istrinya. Anaknya pun telah menjadi dewasa. Namanya Ar
Rabi’ah. Setelah pertemuan pertama mereka yang sangat mengharukan, maka Farrukh
berbincang dengan istrinya, Ummu Ar -Rabiah. Farrukh menceritakan keadaan dan
sebab musabab terputusnya berita darinya.
Ummu Ar-Rabi’ah bahagia bertemu dengan suaminya lagi. Namun ia merasa
khawatir jika suaminya akan menanyakan uang 30.000 dinar yang dulu dititipkan. Bagaimana
kiranya sikap suaminya jika ternyata uang itu habis untuk biaya pendidikan
putranya? Percayakah suaminya bahwa pendidikan putranya sampai menghabiskan 30
ribu dinar? Seluruh penduduk Madinah tahu bahwa dia sangat pemurah dalam
memberikan bayaran kepada guru-guru putranya. Ketika pikiran sedang galau,
tiba-tiba suaminya menoleh dan berkata, “Aku membawa uang 4.000 dinar. Ambillah
uang yang aku titipkan kepadamu dahulu. Kita kumpulkan lalu kita belikan kebun
atau rumah. Kita bisa hidup dari hasil sewanya selama sisa usia kita.”
Ummu Ar-Rabi’ah pura-pura sibuk dan tidak menjawabnya. Suaminya
berkata, “Lekaslah! Mana uang itu? Bawa kemari agar bisa disatukan dengan hasil
yang kubawa.”
Ummu Ar-Rabi’ah berkata, “Aku letakkan uang itu di tempat yang
semestinya. Akan kuambil beberapa hari lagi insya Allah.” Namun pembicaraan
keduanya terputus adzan. Farrukh pun bergegas ke masjid. Sedang Ar-Rabi’ah sudah terlebih dahulu ke masjid.”
Selesai shalat, Farrukh masih di masjid menyaksikan dan mendengar
ceramah seorang Syaikh yang dihadiri oleh orang sangat banyak. Ilmunya begitu menakjubkan. Ia pun
heran dan bertanya siapakah syaikh tersebut kepada orang di dekatnya. Kata orang yang ditanya, Syaikh tersebut meski
masih muda, namun sangat terkenal
kesholihannya dan kecerdasannya, serta
dikenal sangat dermawan. Ia ulama yang terpandang, ahli hadis , fuqaha dan imam
di Madinah.
Orang itu berkata, “Dia adalah Ar-Rabi’ah putra Farrukh. Ia dilahirkan
tak lama setelah ayahnya meninggalkan Madinah untuk berjuang fi sabilillah.
Lalu ibunya memeliharanya dan
mendidiknya. Tapi sebelum shalat tadi saya mendengar dari orang-orang bahwa
ayahnya telah datang kemarin malam.” Tiba-tiba
Farrukh meneteskan air mata, tanpa lawan bicaranya tahu penyebabnya.
Perasaannya sangat terharu. Akhirnya ia mengetahui bahwa ternyata syaikh
tersebut bernama Ar-Rabi’ah bin Farrukh. Anaknya sendiri. Yang ia kenal baru
saja, karena dulu ditinggal pergi ketika ia masih dalam kandungan ibunya. Kemudian ia mempercepat langkahnya untuk pulang.
Begitu melihat suaminya dating sambil meneteskan air mata, ibunda
Ar-Rabi’ah bertanya, “Ada apa wahai Abu
Abdirrahman? (panggilan Farrukh).”
Farrukh menjawab, “Tidak apa-apa. Aku melihat putraku berada dalam
kedudukan ilmu dan kehormatan yang tinggi, yang tidak kulihat pada orang lain.”
Kesempatan itu dipakai Ummu Ar-Rabi’ah untuk menjelaskan tentang harta amanat
suaminya. Ar-Rabiah berkata, “Menurut
anda manakah yang lebih anda
sukai? Uang 30.000 dinar
atau dan kehormatan yang telah dicapai putramu?”
Farrukh berkata, “Demi Allah bahkan ini lebih aku sukai daripada dunia
dan seisinya.”
Ummu Ar-Rabiah berkata, “Ketahuilah wahai suamiku, aku telah menghabiskan semua harta
amanatmu itu untuk membiayai pendidikan putra kita. Ridhakah anda apa yang telah
aku perbuat?”
Farrukh berkata, “Ya, semoga
Allah membalas jasamu atasku, anak kita dan juga kaum muslimin dengan
balasan yang baik.”
Masya Allah…. Karunia Allah yang luar biasa telah diberikan kepada
keluarga Farrukh. Kemuliaan anak sholih yang berilmu tak terbandingkan dengan
30 ribu dinar. Farrukh dan istrinya adalah contoh orang tua yang berhasil
mendidik anaknya dan berbahagia dengan karunia Allah atas anaknya yang sholih
dan berilmu. Semoga kita termasuk orang tua yang berhasil mendidik anak-anak
kita menjadi anak sholih yang berilmu dan menebar kemanfaatan ilmunya untuk
umat manusia. Aamiin.
Sumber : Mereka adalah Para Tabi’in. Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya.
Penulis: Dra Asnurul Hidayati,
Guru MITQ Bantul
Foto: google
Post a Comment