Skip Challenge
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Tiba-tiba kita dikejutkan oleh merebaknya skip challenge yang dengan cepat menjalar melalui media sosial, meskipun saya sendiri tidak terkejut. Ini merupakan permainan yang sangat menantang, beresiko tinggi dan dapat mengancam nyawa. Resiko hipoksia (kekurangan oksigen) akibat dada ditekan kuat-kuat dalam waktu lama sehingga tidak dapat menyerap oksigen dengan baik. Pingsan itu resiko yang masih terhitung ringan dan justru itu inti permainan. Resiko lainnya adalah kematian.
Skip Challenge hanyalah satu saja di antara sekian banyak tantangan yang ada di sekeliling kita. Kebetulan permainan fisik ini yang sekarang sedang merebak. Tetapi di luar itu ada sangat banyak yang beredar maupun yang akan beredar. Di belahan daerah yang lain, di Yogyakarta misalnya, ada Klithih yang tidak kalah bahaya serta daya rusaknya. Ini memang bukan permainan, tetapi salah satu pintunya adalah tantangan.
Skip Challenge segera merebak melalui media sosial. Kita dapat meminimalkan penyebarannya dengan mengaktifkan fitur-fitur pengamanan di gadget dan piranti online kita secara keseluruhan. Tetapi perlindungan gadget bukanlah pencegahan terbaik, meskipun ini bermanfaat. Pengamanan pada gadget tersebut baik melalui penyedia layanan aplikasi semisal Google Play Store pada piranti Android maupun pada aplikasi perambannya sehingga tidak dapat mengakses situs yang menyediakan pornografi maupun kekerasan. Tetapi sekali lagi, hal yang lebih penting adalah menyiapkan anak-anak kita agar tidak tertarik dengan hal-hal merusak semacam itu.
Di berbagai kesempatan, saya mendengar ulasan tentang betapa wajar remaja tertarik sekaligus melakukan permainan berbahaya tersebut karena mereka sedang berada pada masa krisis identitas dan turbulensi. Ini seolah-olah merupakan kebenaran mutlak yang setiap remaja wajib mengalaminya. Padahal, sebenarnya cuma 1 dari 5 remaja bersekolah di seluruh dunia yang mengalami krisis identitas (Offer & Schonert-Reichl, 1992). Artinya, 80% remaja bersekolah tidak mengalami krisis. Tetapi lebih penting dari itu adalah memahami, siapa yang berpotensi mengalami krisis dan siapa yang bahkan dapat menjadi pendamping bagi teman-teman sebayanya agar bukan saja terhindar dari permainan berbahaya yang merusak, lebih dari itu dapat menjadi mukallaf shalih, yakni remaja utama yang matang kepribadiannya dan sekaligus produktif. Mereka juga dapat diarahkan untuk menjadi motivator sebaya yang mendorong rekan-rekannya untuk mencapai yang terbaik dan mengerahkan kemampuan secara optimal.
Jika kita menelaah berbagai literatur psikologi, sebenarnya kondisi remaja berkaitan dengan identitas dirinya itu ada empat macam. Pertama, remaja paripurna, yakni remaja yang semenjak kecil tidak mengalami krisis dan mereka mempunyai arah yang jelas. Mereka dapat mencapai keadaan yang seperti ini karena terinspirasi oleh sikap dan keyakinan orangtua (nah, sudahkah kita memiliki sikap yang jelas dan menginspirasi anak kita?). Kedua, remaja yang sempat mengalami krisis identitas, tetapi dapat segera keluar dari krisis. Ini pun juga banyak dipengaruhi oleh peran orangtua. Ketiga, remaja yang meninggalkan masa kanak-kanak dengan krisis identitas yang serius. Krisis itu bahkan dapat terjadi di akhir masa kanak-kanak. Mereka inilah yang memerlukan pendampingan, dari orangtua dan guru maupun teman sebaya yang sudah memiliki kematangan pribadi. Guru BK perlu proaktif menggugah minat dan membangkitkan keinginan untuk menjadi yang terbaik, bukan sekedar menjadi bagian reserse kriminal di sekolah yang bertugas memanggili anak-anak bermasalah. Keempat, remaja yang identitas dirinya mengambang. Belum punya arah yang kokoh, tetapi tidak sedang mengalami keguncangan maupun krisis identitas, dan tidak punya gairah untuk sukses; tidak ada keinginan sangat kuat untuk meraih yang terbaik. Keinginan selintas boleh jadi ada atau sering ada, tetapi tidak memperoleh umpan balik dari lingkungan yang membersamai tumbuh-kembangnya setiap hari. Jika ia tinggal di rumah, maka itu adalah orangtua. Jika ia tinggal di asrama, itu adalah warga asrama dan pembimbingnya.
Remaja yang mengalami peristiwa sangat mengguncang sebagaimana orang yang habis ditimpa bencana, dapat diberi pendampingan melalui apa yang disebut sebagai PFA. Sementara yang tidak seberat itu, mereka dapat diberikan Mental Health First Aid (MHFA). Sedangkan yang lain dapat diajak untuk lebih peka dengan kesehatan mentalnya. Tetapi pengetahuan itu baru bermanfaat apabila mereka telah memiliki kesadaran, terlebih keyakinan. Itu sebabnya, sekedar menunjukkan bahaya Skip Challenge dan sejenisnya sama sekali tidak cukup.
Penulis : Mohammad Fauzil Adhim, Motivator dan Penulis Buku
Foto http://www.mediajabar.com/
Post a Comment