Budaya Instant, Semua Dibeli dengan Uang
Oleh: Ani Astuti, SIP
Era perkembangan teknologi telah membuat
terciptanya berbagai alat yang berfungsi mempermudah pekerjaan manusia. Sudah
ada mesin foto kopi yang mempermudah manusia sehingga tak harus menulis
berulang-ulang untuk memperbanyak materi yang sama, sudah ada komputer dengan
kapasitas memori yang besar untuk membantu mengingat-ingat dan menyimpan semua
data atau pengetahuan atau segala hal yang ingin kita ingat tanpa bersusah
payah memaksa otak. Intinya sudah banyak mesin-mesin berteknologi canggih yang
diciptakan dengan tujuan mempermudah pekerjaan manusia. walaupun sebenarnya
bisa dikatakan pencapaian teknologi tersebut juga merupakan hasil kerja keras
dalam berpikir dari orang/ilmuwan tentunya.
Manusia yang hidup di era modern ini telah
dimanjakan oleh kemudahan teknologi sehingga gerak fisik maupun kerja otak dari
sebagian atau mungkin banyak orang menjadi berkurang, kepayahan atau keletihan
fisik yang sebenarnya mungkin baik untuk tubuh juga sudah jauh berkurang dengan
bantuan teknologi. Teknologi juga membantu mencapai hasil yang secara kualitas
lebih baik dan kuantitasnya jauh lebih banyak, walaupun jika dilihat secara
seksama sebenarnya mungkin hanya cenderung memenuhi pola konsumtif manusia.
Memang kerja manusia menjadi jauh lebih efisien.
Lalu letak permasalahannya sebenarnya
dimana? Masalahnya adalah jika kemudahan itu memperngaruhi orang untuk berpikir
mudah atau menggampangkan dalam segala hal apalagi yang sifatnya prinsip,
maunya cepat dan enak dengan tanpa adanya upaya yang serius. Misalnya saja
ingin mudah mencari uang berimbas pada meningkatnya korupsi dan juga
berkembangnya riba di masyarakat. Ingin mudah dalam semua urusan,
ujung-ujungnya menyuap atau menyogok contohnya ingin mudah dapat kerja,
ujung-ujungnya nyari koneksi. Ingin lulus dengan nilai baik dan dapat
sekolah yang baik, ujung-ujungnya sebagian orang melakukan praktek
sogok-menyogok atau membeli bocoran soal. Pokoknya semua inginnya yang serba
gampang tanpa harus berusaha serius. Mungkin maunya tinggal bayar saja dapat
hasil baik dan memuaskan. Seolah semua bisa dicapai dengan uang. Uang seolah
sudah menjadi tujuan, kerena ada anggapan dengan uang semua orang bisa membeli
apapun bahkan menguasai dunia dan melupakan Sang Khaliq.
Fenomena tersebut bukan tidak mungkin
merambah atau berimbas pada dunia pendidikan kita. Sekolah bisa jadi sudah
dianggap sebagai sebuah mesin pembuat makanan. Tinggal masukkan tepung dan
bahan-bahannya, nyalakan mesinnya, 30 menit kemudian keluarlah roti yang enak
siap dimakan. Tidak ada keletihan dan kerepotan dalam proses pembuatannya. Atau
sebuah juicer, tinggal masukkan buah-buahan, nyalakan mesin, tunggu sebentar
sudah tampak hasilnya tanpa kita perlu susah-susah mengupas dan memarutnya. Tinggal
beli alatnya saja. Lebih parah lagi jika sekolah dituntut untuk menghasilkan
robot-robot yang tujuan akhirnya menjadi orang yang hanya bisa mencari
kesuksesan dunia semata atau lebih sederhananya pandai mencari uang tanpa
berpikir halal dan haramnya.
Sekolah dewasa ini sangat mungkin
berhadapan dengan keinginan wali murid yang semacam itu. Tinggal daftarkan saja
anak, suruh sekolah, kita tunggu sambil ongkang-ongkang, dan endingnya jadilah
anak yang berkualitas super sesuai harga yang dibayarkan. Itulah keinginan
sebagian orang. Sebagian mereka tak mau memperhatikan proses pendidikan yang
berlangsung dan menyerahkan segalanya pada sekolah. Sehingga ketika hasilnya
tidak sesuai keinginan mereka, pihak sekolahlah yang disalahkan dan menjadi
kambing hitamnya. Padahal keberhasilan dan kesuksesan anak dibangun dengan
kerjasama antara orangtua dengan unsur-unsur pendidikan yang lain seperti
sekolah dan masyarakat. Sungguh sebuah ironi yang menyedihkan. Anak disamakan
dengan benda. Sekolah disamakan dengan mesin. Bagaimana mungkin sebuah hasil
yang baik dapat dicapai tanpa adanya kerjasama yang baik antara semua pihak.
Hal yang mustahil bisa terjadi tanpa kesamaan langkah.
Jika sebentar saja kita mau merenung,
bukanlah sebuah kepantasan dan tidak pada tempatnya jika asas yang berlaku pada
teknologi yaitu “instant” itu diterapkan ketika kita ingin mendidik anak-anak
menjadi orang yang berkualitas nantinya. Pendidikan adalah proses panjang yang
menjadi tanggungjawab semua pihak baik orangtua, sekolah maupun masyarakat.
Sudah menjadi keharusan untuk bekerja sama dan tidak saling menyalahkan dalam
menjalankan proses pendidikan, buang jauh sikap tersebut, demi tujuan yang baik
yaitu mencetak generasi yang unggul.
Penulis : Ani
Astuti, SIP, Pendidik di
SDIT Hidayatullah Sleman Yogyakarta
Foto: google
Post a Comment