Karbit untuk Membangun Karakter Anak di Sekolah
Oleh : Salim Abu Hanan
Mungkin istilahnya saja yang belum akrab. Tetapi karena cara
ini cukup efektif dalam mendukung terbangunnya karakter pada anak, maka perlu
kita paparkan. “Karbit” adalah istilah untuk “Lingkar Bimbingan Tauhid”.
Pada dasarnya konsep Islam tentang pendidikan, bertujuan
untuk memelihara fitrah manusia, mewariskan nilai-nilai, dan pembentukan
manusia seutuhnya insān kāmil yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan hadits. Untuk
itulah manusia dibekali dengan akal pikiran agar dapat menciptakan metode
pendidikan yang dinamis, efektif dan dapat mengantarkan pada kebahagiaan hidup
dunia-akhirat.
Tujuan Karbit adalah untuk menanamkan nilai-nilai tauhid
kepada anak didik. Bukankah di kelas regular sudah ada pelajaran Tauhid atau
Keimanan? Benar. Tetapi dalam Karbit, tauhid tidak disajikan sebagai bahan ajar
formal. Tauhid bukan untuk didalami materinya melainkan untuk dijiwai agar
menjadi dasar aktifitas atau kegiatan hidup sehari-hari.
Karbit bukan diorientasikan untuk transfer of knowledge melainkan
lebih dititik beratkan sebagai pendukung character building. Karena pada
prinsipnya ada tiga hal yang penting dalam membangun karakter, yaitu (1)
pembiasaan atau pengulangan, (2) keteladanan, dan (3) keyakinan. Pada sisi
keyakinan inilah Karbit diperankan. Yaitu untuk mendasari dan sekaligus
mengikat karakter yang sedang dibentuk. Dengan adanya dasar dan ikatan ini,
maka karakter yang telah dibangun di sekolah tidak mudah luntur ketika
menghadapi benturan nilai di luar sekolah, atau pada sekolah yang baru.
Karbit dilaksanakan dengan tidak mengambil jam pelajaran. Misalnya
10 menit menjelang jam pertama, atau 15 menit sehabis anak melaksanakan dzuhur
berjamaah. Setiap kelompok Karbit terdiri seorang guru dan beberapa murid.
Maksimal 10 murid. Murid duduk melingkar di
hadapan guru.
Jumlah murid harus dibatasi dengan maksud; lingkaran
duduknya kecil sehingga guru tidak perlu berbicara keras, komunikasi lebih
intensif, sikap murid mudah dikontrol, lebih mudah menselaraskan hati, dan
dalam sebuah masjid bisa dipakai beberapa kelompok Karbit. Guru tidak perlu
berbicara keras atau menekan, melainkan bisa berbicara dari hati ke hati.
Menyentuh hati murid sehingga murid terlibat secara mental.
Materi yang disajikan bisa mengambil materi PAI berdasarkan
kurikulum yang digunakan, tetapi bisa juga materi lain, misalnya hadits-hadits
pilihan, kisah nabi, para sahabat nabi, dan
para pejuang Islam.
Sebenarnya Karbit bukan merupakan hal yang baru. Sejak zaman
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam
telah dikembangkan dalam mendidik dan mengkader para shahabatnya. Demikian juga
di tanah air yang kemudian berkembang menjadi majelis taklim. Terbukti cara ini
cukup efektif dalam membangun masyarakat.
Di sekolah? Sekolah terlalu padat materi. Serba formalitas
sehingga sulit untuk menembus hati. Anak menguasai materi sampai pemahaman,
tidak mudah hingga tingkat internaisasi. Di sinilah pentingnya Karbit
dikembangkan di sekolah.
Sistem halaqah tidak hanya dilaksanakan pada zaman Nabi.
Tetapi sejarah membuktikan efektifnya cara ini yang dikembangkan oleh para
ulama dan habaib oleh masyarakat Betawi di Jakarta. Halaqah dan majelis taklim telah
menjadi dasar yang tak lapuk oleh zaman dalam mempertahankan eksistensi agama
Islam di tengah masyarakat Betawi.
Christiaan Snouck Hurgrounje, yang pernah disebut-sebut
sebagai orientalis paling berhasil di dunia, mencatat, masyarakat Betawi adalah
penduduk pribumi yang paling lama dan paling erat berinteraksi dengan bangsa
Eropa.
Lebih jauh
Snouck mengatakan, tidak ada satu kampung pun di Jawa yang lebih taat beragama
Islam dalam setiap tingkah lakunya daripada Betawi, dan agama Islam di Betawi
lebih maju dari daerah lain. Dalam makalahnya, Khazanah Jakarta Menghadapi
Tantangan Zaman, K.H. Saifuddin Amsir menguraikan, gambaran Snouck ini
menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sangat mengerti kultur masyarakat di
Indonesia dan bahwa kultur keagamaan di Betawi sudah begitu kuat sejak zaman
penjajahan dulu.
Penulis: Salim
Abu Hanan, Pimpinan Madin Saqura (Sahabat Al Qur’an) Sleman
Foto: google
Post a Comment