Mendidik Anak Berkarakter
Oleh: Achmad
Bashori
Saat
pertemuan rutin dengan orang tua setiap tiga bulan atau saat wawancara dengan
orang tua calon siswa baru yang sekarang sedang berjalan. Saat ditanya; apakah
motivasi memasukkan anaknya ke SD Integral? Apakah yang paling menentukan
keberhasilan anak-anaknya saat mereka dewasa? Ternyata mayoritas jawaban mereka
adalah hal-hal yang berkaitan dengan pembiasaan nilai-nilai Islami, sifat,
perilaku, kepribadian, atau karakter seperti kejujuran, kerja keras, ketekunan,
percaya diri, tanggung jawab, kerjasama, dll.
Namun
fenomena yang terjadi di dunia pendidikan kita justru sebaliknya. Hampir setiap
tahun, saat penerimaan siswa baru, orang tua berbondong-bondong mendaftarkan
putra-putrinya ke sekolah-sekolah favorit berdasarkan hasil Ujian Nasional
(kognitif) walaupun lingkungan sekolah tersebut sering tidak mendukung bagi
perkembangan karakternya.
Di
sinilah kita bisa melihat adanya pola pikir yang parsial; disatu sisi orang tua
meyakini akan posisi karakter bagi keberhasilan masa depan anak-anaknya, tetapi
pada posisi yang lain mereka lebih memilih aksi-aksi jangka pendek dengan
memilih sekolah yang mengagungkan kognitif.
Sayang sekali jika sekolah hanya terlihat sebagai mesin
industri pengkarbitan. Artinya, sekolah hanya lebih berorientasi kepada produk
daripada proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang berlangsung; anak-anak
belajar dengan cara yang sama, membangun 90% kognitif dengan 10% afektif.
Sekolah hanya mengerti mereka mendapatkan nilai akademik yang tinggi, namun
sekolah tidak mengerti bahwa sebenarnya mereka butuh sekolah untuk menyongsong
masa depannya!
Peran pelajaran agama nyaris tidak tampak. Yang disebut
sebagai pendidikan agama hanya pelajaran untuk menghafal materi agama, hampir
sama dengan pelajaran IPA, Matematika, dan pelajaran yang lain. Penambahan jam
agama pun tidak membangkitkan ruhiyah mereka. Akibatnya, mereka mengalami dereligiusitas
dan despiritualitas yang menyedihkan.
Reduksi agama harus dihentikan!
Kekuatan ruhiyah peserta didik harus ditumbuhkan dan
dikokohkan, sehingga menjadi penggeraak hidup yang sempurna. Nilai-nilai agama
harus mewarnai keseharian mereka dalam menyongsong masa depannya. Dengan ruh agamalah
mereka memiliki keyakinan yang kuat kepada Allah untuk menggerakkan aspek
kognitif, afektif, psikomotorik, dan spiritual anak.
Disadari atau tidak, kita pada saat ini telah digiring
untuk membentuk anak kita menjadi manusia-manusia instant yang sekali pakai,
dan tidak bertahan lama. Hal ini semakin terasa, disaat menjelang ujian akhir
sekolah atau ujian nasional. Dimana pada saat itu banyak orang tua yang dengan
gencarnya mencari “lembaga bimbingan belajar” untuk mendrill dan ‘memaksakan’
anak-anaknya agar bisa menguasai bidang studi yang diujikan, dalam waktu yang
relatif singkat.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena memang pendidikan
kita belum menjadikan pembentukan karakter sebagai tolok ukur keberhasilan
pendidikan, dan masih menjadikan ‘angka-angka’ sebagai patokannya. Akibatnya
banyak sekolah-sekolah yang memberi nilai ‘instan’ hanya untuk memenuhi ambisi
orang tua dan menjaga citra sekolahnya sebagai sekolah yang unggul dan
berprestasi. Padahal Imam syafi'i mengatakan," Tak akan kau dapatkan
ilmu kecuali dengan waktu lama, bersahabat dengan guru, ada biaya yang cukup,
rajin, dan ulet........"
Keberadaan sekolah Integral yang berbasis tauhid mencoba
untuk mengembalikan ruh pendidikan yang telah hilang sebagaimana yang telah
diwariskan oleh Rasulullah SAW. Kita bisa melihat bagaimana keberhasilan
Rasulullah SAW dalam mendidik para sahabatnya, yaitu dengan pendidikan berbasis
tauhid (wahyu). Sebab itu, salah satu pendekatan yang telah dilakukan oleh SD
Integral adalah bagaimana anak-anak yang diamanahkan oleh orang tua dapat
dioptimalkan potensinya sehingga menjadi manusia yang utuh dengan memiliki
karakter berdasarkan nilai-nilai Islam.
Pendidikan yang seutuhnya adalah pendidikan yang mampu
melibatkan berbagai aspek yang dimiliki anak sebagai kompetensi yang beragam
dan unik untuk dibelajarkan. Pendidikan anak seutuhnya tentu saja bukan hanya
mengasah kognitif melalui kecakapan akademik semata! Sebuah pendidikan yang
utuh akan membangun secara bersamaan, pikiran, hati, pisik, dan jiwa yang
dimiliki anak didiknya. Membelajarkan secara serempak pikiran, hati. dan pisik
anak akan menumbuhkan semangat belajar sepanjang hidup mereka. Di sinilah dibutuhkannya
peranan guru dan orang tua sebagai pendidik akademik dan pendidik sanubari
“karakter”.
Ratna Megawangi dalam bukunya Pendidikan karakter
menyebutkan ada tiga komponen di dalam pendidikan karakter yaitu Pengetahuan
tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling)
dan perbuatan bermoral (moral action). Sesorang perlu mengetahui tentang
nilai-nilai moral dan etika, tetapi perlu juga membangun perasaan untuk
menyenangi hal-hal yang berkaitan dengan nilai moral, kemudian memastikan anak
untuk mencoba dan memulai melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
Dengan ketiga komponen di atas, pendidikan karakter tidak
cukup dengan kata-kata , ia perlu contoh riil dari orang tua, pendalaman
terhadap contoh-contoh tersebut dengan penjelasan-penjelasan dan refleksi
tindakan anak, serta membangun sebuah lingkungan yang memastikan anak mudah
untuk melakukannya dalm kehidupan mereka sehari-hari.
Tugas sekolah hanya
membantu orangtua untuk mengantarkan anak-anaknya mencapai tahap
perkembangannya untuk mengetahui hakikat dirinya ada di dunia ini. Selebihnya
dukungan dan kesungguhan orang tua dengan memberikan teladan yang baik.
Anak-anak kita pun merasa bahwa ia tidak sendiri untuk menemukan jatidirinya,
tetapi orang tua mereka pun ikut serta mengantarkan dirinya untuk menjadi hamba
Allah SWT yang beruntung.
Penulis Achmad Bashori, S.Pd,Pendidik di SMP Integral
Luqman al Hakim Purwodadi-Grobogan
Foto: google
Post a Comment