Semua Anak Adalah Idaman
Oleh : Roidatun
Nahdhah
Di sela istirahat mengajar, terjadi percakapan antara guru A dan guru B, dua orang guru mapel di sebuah sekolah.
Guru A: “Huffftt.. semester ini kebagian jam mengajar di
kelas yang paling kuhindari. Malas banget rasanya. Tapi yaa mau bagimana lagi,
titah dari atasan jadi kudu taat.”
Guru B: “Kelas yang dihindari?? Maksudnya bagaimana..?
berarti ada kelas idaman dong..”
Guru A: “Yaaa.. seperti yang kamu tahu laah, kelasnya bu
Fulanah itu. Anak-anaknya kan terkenal nakal-nakal tuh. Susah nangkap pelajaran
juga. Paling satu dua saja yang cepat nyambungnya. Belum lagi suka ribut dan
ngeyel kalo dikasih tahu.. gak kayak kelas sebelahnya, idaman banget. Manut,
pinter-pinter, sama kita sopan pula. Ditunjuk jadi wali kelas mereka pun aku
mau bangeet..”
Guru B: “Huss.. Istighfar, kawan. Gak boleh bicara
begitu. Maaf, gak cocok jadi seorang guru kalau masih punya pikiran seperti
itu. Buang jauh-jauh. Kenapa ada yang harus dihindari?? Bukankah semua anak
bisa menjadi idaman kalau kita bisa membentuknya? Tidak ada anak yang buruk, kita
lah yang belum mampu mendidiknya dengan baik.”
***
Ilustrasi percakapan di atas mungkin saja terjadi di
sekeliling kita. Adakalanya seorang guru merasa tidak bersemangat dan tidak
ingin mengajari anak-anak yang dicap nakal atau kemampuan intelektualnya rendah
dibanding murid yang lainnya. Tatkala mendapatkan
tugas mengajar mereka, ia melakukannya dengan perasaan tidak senang dan tidak antusias. Terkadang
sampai keluar ungkapan,“Bapak/Ibu lebih senang mengajar di kelas sebelah lho.
Mereka pinter-pinter dan penurut. Tidak seperti kalian yang susah diatur dan
malas mengerjakan tugas.” Maka pertanyaannya, apakah pantas seorang guru
berucap demikian?
Setiap anak memiliki potensi dasar, baik melalui fisik
maupun psikis, yang perlu dikembangkan melalui dunia pendidikan, baik di
lingkungan keluarga, sekolah, maupun di lingkungan masyarakat di mana anak
tersebut berada. Dalam mengembangan potensi dasar—sering disebut sebagai fitrah—tersebut, orang tua dan guru sebagai pengganti orang tua di sekolah memiliki peranan
yang sangat penting.
Secara kodrati anak memerlukan pendidikan dan bimbingan
sebagai kebutuhan dasar yang harus dimiliki seorang anak. Melalui pendidikanlah
manusia dapat menemukan pengetahuan, kecakapan, dan keahlian dalam
kehidupannya.Tanpa dididik anak tidak akan mampu mengembangkan fitrah kebaikan
yang dibawa sejak lahir tersebut. Dengan pendidikan agama, anak akan mampu membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, dan lain sebagainya sehingga hidupnya dapat berkualitas dan dapat berhasil
sesuai apa yang diharapkan.
Sebagai seorang pendidik sudah menjadi tugasnya untuk
membentuk akhlak dan moral anak didiknya agar senantiasa berakhlakul karimah,
dan menjadi kewajibannya untuk menanamkan ilmu yang bermanfaat, juga menjadi
keharusan baginya untuk selalu memotivasi anak didik agar bersemangat dalam
belajar. Saat seorang guru berpikiran hanya ingin mengajari anak-anak yang
rajin, pintar, dan berperilaku sudah baik; maka timpanglah dunia pendidikan.
Sebab jika semua guru berpikiran yang sama, dimana hanya merasa antusias dan
senang saat diberi tugas mengajar kelompok/kelas yang sudah dianggap sebagai
anak-anak yang baik saja, maka guru tersebut telah berlaku tidak adil. Semua
anak punya potensi yang sama, fitrah yang sama, tergantung bagaimana kita
memperlakukannya.
Sesungguhnya perbuatan memilih-milih anak didik adalah
hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang pendidik. Jika semua pendidik
hanya mengutamakan anak didik yang berprestasi dan berakhlak baik, maka hanya akan
menjadi baik yang sudah baik, dan akan semakin memburuk apa yang sudah dicap
buruk. Jangan sekedar berharap kebaikan, tapi enggan turut andil dalam
mewujudkannya. Ibarat kata, ingin berenang di danau, tapi tak mau basah
karenanya.
Terima dengan sepenuh keikhlasan segala macam kondisi
anak didik kita, maka Allah lah yang akan memampukan kita untuk membimbingnya
ke jalan kebaikan, ke arah angin kesuksesan. Saat kita berharap kebaikan pada
anak didik, maka sesungguhnya kita lah teladan nyata baginya. Bagaimana guru
berlaku, akan menentukan seperti apa anak didik bersikap. Karenanya sayangi
mereka tanpa pilah, tanpa pilih. Jadilah seorang guru yang berani mengatakan
kepada semua anak didiknya, “Aku bangga padamu, Nak”
Penulis: Roidatun
Nahdhah, Pendidik
di SDIT Hidayatullah, Sleman
Post a Comment